Senin, 13 Juni 2011

Opini: Kontroversi Pelaksanaan Ujian Nasional

Jika kita mencermati dan memperhatikan pendidikan di Indonesia timbul suatu permasalahan yang sudah lama menjadi sebuah permasalahan nasional, terutama menyangkut dengan standar kelulusan peserta didik baik yang masuk SMP/MTs, SMA/SMK maupun perguruan tinggi, kelulusan peserta didik tidak ditentukan oleh guru yang setiap hari memantau dan membimbing serta membina dan mendidik anak didiknya selama 3 tahun dalam proses belajar mengajar di sekolah, tetapi cukup ditentukan oleh standar nilaiUjian Nasional atau lebih kita kenal dengan sebutan UN.
Apalagi pemeriksaan lembar jawaban siswa bukan diperiksa oleh manusia malah manusia mempercayai kehebatan teknologi komputer dalam hal ini Scanner untuk menentukan lulus dan tidaknya siswa yang mengikuti Ujian Akhir Nasional. Dan hal ini dibuat dengan berbagai macam aturan yang salah satunya adalah jika penghitaman pada lembar jawaban komputer (LJK) keluar melewati batas bulatan yang ada maka sudah pasti siswa yang melakukannya tidak akan lulus ujian.Bahkan lebih ironisnya lagi adalah dengan adanya aturan seperti itu membuat para siswa sering diburu waktu saat mengerjakan soal-soal ujian dan akibatnya banyak jawaban yang melenceng bukan karena tidak tahu menjawab akan tetapi karena terburu-buru dengan waktu yang ditentukan juga penghitaman pada lembar jawaban komputer yang tidak sesuai dengan aturan serta kesalahan lainnya yang mungkin saja terjadi dilakukan oleh siswa.
Pelaksanaan Ujian Nasional di berbagai tingkat pendidikan setiap akhir tahun ajaran, seringkali muncul banyak pro dan kontra, baik dari kalangan pemerintah maupun pada kalangan masyarakat biasa di Tanah Air ini. Permasalahan yang seringkali dibicarakan adalah tentang standar nilai yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasionalbahkan perdebatan dan saling kritik seringkali muncul dan semakin gencar.
Kalangan masyarakat menilai bahwa pemberian standar nilai untuk Ujian Nasional terasa sangat memberatkan apalagipemenuhan berbagai sarana dan prasarana kebutuhan pendidikan tampaknya masih jarang dibicarakan pemerintah.
Kontroversi pelaksanaan Ujian Nasional memang bukan kali pertama terjadi di Negeri ini. Tercatat, banyak kebijakan pemerintah mengenai Ujian Akhir Nasional ini mengundang banyak kritik dari berbagai elemen masyarakat, terutama komunitas yang bergerak di bidang pendidikan. Mengambil sebuah contoh, pelaksanaan ujian akhir nasional pada tahun 2008 dipandang sebagai sesuatu yang memberatkan siswa.
Penyebabnya adalah standar nilai UN yang naik dari 5,00 menjadi 5,25 sementara untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan masih seperti pada tahun sebelumnya, tak ada yang berubah. Apalagi materi pelajaran dalam Ujian Akhir Nasional semakin bertambah yakni ditambahkannya mata pelajaran Fisika, Kimia, Biologi dan Bahasa Arab untuk jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), mata pelajaran Sosiologi, Geografi, Ekonomi dan Matematika untuk Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan mata pelajaran Sastra Indonesia, Antropologi, Matematika untuk jurusan Bahasa.
Tingginya standar kelulusan yang terus meningkat tiap tahun pelajaran dan makin banyak mata pelajaran yang masuk menjadi mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional pun semakin menambah berat beban psikologis siswa dan mau tidak mau mereka harus tetap mengikutinya. Apabila tidak, bukan tidak mungkin keinginan mereka untuk melanjutkan ke perguruan tinggi harus menunggu tahun berikutnya dan mereka pun harus kembali mengikuti Ujian Nasional yang mungkin soal-soal di dalamnya sudah banyak yang berubah. Bayangkan, betapa beratnya menghadapi Ujian Nasional. Dan penerapan standar tunggal evaluasi hasil belajar dalam bentuk Ujian Nasional saat ini tampaknya masih sulit diterapkan di Indonesia. Sulitnya penerapan standar tunggal hasil belajar itu berkaitan erat dengan masih tingginya tingkat disparitas kualitas antarsekolah di Indonesia.
Pemerintah seharusnya menetapkan standar khusus untuk nilai Ujian Nasional ini dengan melihat banyaknya kontra yang dilontarkan baik dari pemerintah sendiri, komunitas yang bergerak di bidang pendidikan maupun masyarakat lain. Penetapan standar khusus ini harus didasarkan juga pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang telah dikeluarkan sebelumnya agar tidak saling tumpang tindih dengan aturan-aturan sebelumnya mengenai standar nilai ini. Standar nilai ini menjadi sebuah masalah bukan hanya ditujukan pada 3 mata pelajaran saja melainkan pada semua mata pelajaran yang sekarang dijadikan mata pelajaran Ujian Nasional.
Hal lain yang harus menjadi pertimbangan bagi pemerintah adalah mengurangi mata pelajaran yang sudah dijadikan mata pelajaran UN. Hal ini akan membuat para peserta UN tidak merasa terbebani dengan banyaknya mata pelajaran yang dimuat dalam Ujian Nasional.Pemerintah justru hanya melihat faktor-faktor penentu berjalannya proses dan sejauh mana itu sudah terpenuhi di sekolah.
Berdasarkan gambaran di atas, perlu diperhatikan bahwa pelaksanaan UN hendaknya sebatas untuk mengetahui peta kualitas pendidikan di Indonesia. Melalui UN dapat diketahui sejauh mana kurikulum secara nasional tercapai. Bukan menjadi penentu kelulusan siswa.Selain itu, sangat tidak adil jika menentukan kelulusan anak didik hanya dengan waktu 3 atau 4 hari saja atau satu mata pelajaran hanya dengan 120 menit (2 jam) saja. Berbagai pengorbanan, baik moril maupun materil, selama tiga tahun di tingkat SMP atau SMA, bahkan anak SD selama 6 tahun, tampaknya sia-sia ketika mereka gagal memperoleh nilai Ujian Nasional di atas standar nasional.
Pihak sekolah seharusnya mempunyai kekuasaan atau andil yang besar untuk menentukan kelulusan para siswanya karena pihak sekolahlah yang lebih banyak tahu dan mengenal siapa siswanya, baik dari segi kualitas maupun kemampuan siswanya. Pun, gurunyalah yang mengajar, mendidik, dan membina siswanya, bukan standar nilai atau orang yang memeriksa kebenaran jawaban pada Lembar Jawaban Komputer (LJK).

oleh: Jamaludin Adjhar (PBSI-FKIP UNIFLOR, ENDE)

PANTUN DAERAH ENDE_BARAI, DESA BOROKANDA

pau jendi re puse ko mesi
wongan sa ngga'a seru jepi tana
angi weo ne'e ngighi reto
ana ta pizi wena ko'o ngighi

zawo pea mata jara ngera
pebha zau zea ngere neke zeza
dhei dhenda ma'e mbiraka
ata ndu'a tei ozo iwa dhei

nio toro mena wiwi wozo
ja'o rondo tanda kere woe mata mbara
rondo tanda kere woe mata mbara
tu'u ne'e rara ma'e pati ata

rendo rate rua tau nggera nusa
nusa sa Ende taku bimo ozo ese
bima ramu raze oro ese ko sape
tungga kita we'e ma'e tange

wuza wozo ne'e ndaza kezi
kombe nipi tei zema dhei resi
ofai kemba nuamuri ata amba
ate a'i rendo nara paru dheko



1) Ka’e ine zego
Ata kelo mbeo
Kelo peka ja’o nai reta sa’o
Nggama reta sa’o ngambe weti rako
We rako pawe ine zego iwa mbaze

2) Ari-ari e
Kau mere ma’e aki kere
Ja’o ndie tu’u ngere bhoka mara wunu
Ja’o ndie rara ngere nio enggo sa
Ja’o ndie ghoe ngere nio ghubhi zandhe

3) Ana ko’o no’o tungga puzi poko
Poko iwa puzi ngambe iwa dari
Ana eja baba tungga hai tawa
Tawa tungga hai ngambe iwa padhi

4) Zawo sare mata ana nggake
Ate ja’o kame pati weta ane
Ane pawe ngere weta ngange
Ja’o peru teka re ndeka ata reu zewa

5) Ine-ine e
Rongo me me re uzu pere
Me tei apa?
We tei wunu kesi seteke we’e
Seeko nara rako