Di
sebuah taman, dengan beberapa buah bangku, orang tua masuk, batuk-batuk, duduk
di bangku. Masuk laki-laki separuh baya, duduk di bangku.
Waty
Lia
Waty
Lia
Lia
Waty
Lia
Waty
Lia
Waty
Lia
Waty
Lia
Waty
Lia
Waty
Lia
Waty
Lia
Waty
Lia
Waty
Lia
Waty
Lia
Nona
Lia
Waty
Lia
Waty
Nona
Waty
Nona
Lia
Waty
Lia
Waty
Nona
Lia
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
“Mau hujan.”
“Apa?”
“Hari mau hujan. Langir mendung.”
“Bukan. Musim kemarau.”
“Di musim kemarau hujan tak turun.”
“Kata siapa?”
(Bunyi guruh)
“Ini bulan apa?”
“Entah.”
“Kalau begitu saya benar. Ini musim hujan.”
“Bulan apa kini rupanya?”
“Entah.”
“Kalau begitu saya benar. Ini musim kemarau.”
“Tidak, tidak! Yang lebih muda mesti tahu
menghormati yang lebih tua. Ini musim kemarau.”
“Tidak, tidak! Yang lebih tua mesti tahu
menghormati yang lebih muda. Ini musim hujan.”
(Terdengar bunyi guruh)
“Kita sama-sama salah.”
“Maksudmu, bukan musim hujan, dan bukan pula
musim kemarau?”
“Habis, mau apa lagi.”
“Beginilah, kalau kita terlalu memuja
hormat.”
“Maumu bagaimana?”
“Lantas?”
“Akan lebih jelas, musim apa sebenarnya
kini.”
“Dan kalau sudah bertambah jelas?”
(diam)
(merenung) “Dan kalau segala-galanya sudah
bertambah jelas, maka kita pun saling bengkak-bengkak, karena barusan saja
telah cakar-cakaran, dan siapa tahu salah seorang dari kita cidera dalam
cakar-cakaran itu, atau keduanya dari kita. Dan ini semua hanya oleh karena
kita telah mencoba mengambil sikap yang agak keras terhadap sesama kita
(tiba-tiba marah). Bah, masa bodoh dengan musim! Dengan segala musim.”
(Bunyi guruh. Tak berapa lama kemudian,
masuk PB. Balon-balonnya beraneka warna)
(kepada PB) “Silakan duduk.”
(bimbang, masih saja berdiri
“Ayo, silakan duduk!” (menepi di bangku)
“Tentu saja dia menjadi ragu-ragu karena Ibu
buat.”
“Kenapa?”
“Pakai silakan segala! Ini ‘kan taman?”
(tiba-tiba marah)
“Dia duduk, kalau dia mau duduk. Dan dia
tidak duduk, kalau dia memang tak mau duduk. Habis perkara! Bah!”
(Bunyi guruh. Berhembus angin. Balon-balon
kema hembus. Semua mau terlepas. Cepat PB dan LSB bergumul. Balon-balon
lainnya kini lepas semua dari tangan PB, terbang ke udara. Sebuah balon itu
dapat tertangkap oleh OT, yang kemudian bermain-main gembira,
kekanak-kanakan, dengannya.)
(lepas dari pergulatan dengan PB ia berdiri,
nafasnya satu-satu)
(duduk di tanah, menangis)
(masih dengan gembira ia bermain dengan
botol tadi)
Waty
Nona
Waty
Lia
Nona
Lia & Waty
Waty
Nona
Lia
Waty
Nona
Lia & Waty
Nona
Waty
Nona
Waty
Nona
Waty
Lia
Waty
Lia
Nona
Lia
Nona
Lia
Nona
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
(kepada PB) “Mengapa kau menangis?”
(tak menyahut, terus duduk di tanah,
menangis)
(timbul marahnya) “Hei! Mengapa kau menangis?”
(sambil bermain-main terus dengan balon)
“Karena dia memang mau menangis.”
(tiba-tiba) “Bukan! Bukan karena itu!”
(tercengang)
“Kalau begitu, kamu menangis karena apa?”
“Karena balon-balon saya terbang.”
(mengerti) “Ooo! Dia pedagang yang merasa
dirugikan.”
“Ooo, itu!” (merogoh dompetnya dari saku
belakangnya. Dia mengeluarkan uang dua puluh ribuan.) “Nah, in sekadar
pengganti kerugianmu.”
(berdiri) “Tidak!” (duduk di bangku) “Lari
dan tinggalkan aku sendiri.” (tangisnya menjadi) “Saya tidak mau dibayar.”
(serempak) “Tidak mau?”
(menggelengkan kepalanya)
“Mengapa?”
“Saya lebih suka balon.”
(tak mengerti) “Tapi, kau ‘kan penjualnya?”
“Itu hanya alasan saya saja untuk dapat
memegang-megang balom. Saya pecinta balon.”
“Apa-apaan ini?”
“Mengapa merasa aneh? Dia pecinta balon,
titik. Seperti juga orang lain pecinta harmonika, pecinta mobil balap,
pecinta perempuan-perempuan cantik. Apa yang aneh dari ini semuanya?”
(masih belum habis herannya) “Jadi, kau
sebenarnya bukan penjual balon?”
(kepada PB) “Ini, terimalah balonmu
kembali!”
“Tidak, Ibu pegang sajalah terus.”
(heran) “Saya pegang terus?”
“Karena saya lihat, bahwa Ibu juga
menyukainya. Saya suka melihat orang yang suka.”
(tertawa kecil) “Ah, ini bukan lagi kesukaan
namanya, tapi kenangan. Kenangan kepada dulu. Tidak Nak, sebaiknya kau sudi
menerima kembali balonmu ini.”
“Saya tak sudi dan tak berhak menerima
kenangan orang.” (menolak balon)
Penyusunan Kamus Bahasa Daerah Ende ini bertujuan untuk mengantisipasi kepunahan bahasa daerah khususnya bahasa Ende. Hal ini perlu dilestarikan karena di zaman serba modern seperti sekarang ini, orang tidak hanya mengabaikan budaya lokal, bahasa daerah pun semakin hari kian tidak dipergunakan. Maka, bantuan dari saudara-saudara sebagai pelestari bahasa sangat diharapkan agar kelangsungan bahasa daerah kita tetap terjaga dan selalu digunakan pada berbagai kesempatan, entah itu yang bersifat formal atau pun non formal. Ada beberapa yang masih kurang. Lain
kesempatan akan saya selesaikan.
Ini dari kita dan kita sendiri yang harus menjaga dan bangga memilikinya.
A
1.A’i: Kaki: A’i ki neka kere mesu mai ghumbu sa'o =
kakinya terluka saat terjatuh dari atap rumah.
2.Abe: Mereka: Abe mbana sekola = Mereka pergi ke
sekolah.
3.Ae: Air: Baba pusi ae pati mbenu = Ayah mengisi
air hingga penuh.
4.Aga: Ancang-ancang:
So wi pamata kai tau aga-aga ro =
saat akan berkelahi, dia mengambil ancang-ancang.
5.Aja: Ajar: Ine ki aja re sekola kami = Mamanya
mengajar di sekolah kami.
6.Ajima: Jimat: Ata mbe’o na pake ajima = Dukun itu
menggunakan jimat.
7.Aka: Akal: Kai na bodo, aka iwa zatu! = Dia bodoh,
tidak punya akal!
8.Aki: Suami: Fera aki re ata Waniwona = Fera
bersuamikan orang Waniwona.
9.Ako-: Gendong:
Ati ako ana ki re one mbeki = Ati
menggendong anaknya di dalam kamar.
10.Aku-: Mendidih:
Ae ata pedhe na aku peka = air yang
sudah dimasak itu sudah mendidih.
11.Alu: Air ubi kayu yang
dikeringkan: Kami ka alu re sa’o ka’e Frume = kami
makan alu di rumah kak Frumen.
12.Ambo: Berlayar: Baba jo mbana ambo re Sumatera = Bapakku
pergi berlayar ke Sumatera.
13.Ambu: Nenek, kakek: ambu ki za’e mata = Neneknya belum meninggal dunia.
14.Ambu-: Rebus: Vivi ambu ae = Vivi merebus air.
15.Amo: Lendir: Ika ata kai
teka na amo peka = Ikan yang dijualnya sudah berlendir.
16.Ana: Anak:
Kai ana ja’o = Dia anak saya.
17.Ande: Andai: Ande ki ja’o jadi ata bhanda, jo mbeta mbeja
tana pa na = Andai saya jadi orang kaya,
18.Ane: Keponakan:
Ane ko Hami ngara ngere Rudi =
Keponakannya Pak hamid namanya Rudi
19.Anga-: Periuk:
Ine teo anga re ghara = Ibu
menggantung periuk di loteng.
20.Angi: Angin: Angi wara mai = Angin barat telah datang.
21.Ango: Lup:
Ja’o ango mozo sodho kai nde = Saya
lupa memberitahu dia.
22.Ao: Curi (Prokem:
Kau ma’e ao doi ko’o babaku = Kamu
jangan curi uang Bapakmu.
23.Ao: Ribut: Ma’e ao pa na! = Jangan ribut disini!
24.Ape: Terasering: ...
25.Apo: Ampun: Apo ka Ngga’e!
= Ampun ya Tuhan!
26.Apu: Embun: Ae apu na
minu ngaza = Air embun itu bisa diminum.
27.Ara: Panas, gerah:
Sa’o na ara mbiraka = Rumah ini
sangat gerah.
28.Are: Nasi, beras, padi:
Kami muza are re uma ko Ba Joni =
Kami menanam padi di sawah Pak Joni.
29.Ari: Adik:
Na ari ja’o = Ini adalah adik saya.
30.Aro: Bubuk mesiu: Delmi na pake aro woso = Peledak itu menggunakan banyak bubuk
mesiu.
31.Asa: Pagar: Kami kema asa sa’o ko’o Kepala Desa =
Kami membuat pagar rumah Kepala Desa.