BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Bangsa Indonesia
memiliki banyak sekali suku, ras, maupun bahasa dengan dialek yang beragam. Ada
suku Minang yang berbahasa Minang dengan dialeknya masing-masing, ada suku Jawa
yang berbahasa daerah Jawa dan Sunda dengan masing-masing dialeknya, ada suku
Flores yang berbahasa Manggarai, Bajawa, Nagekeo, Ende, Lio, Sikka dan
Lamaholot dengan dialeknya, dan lain-lain.
Kabupaten Ende sendiri
terdapat dua bahasa daerah, yakni bahasa Ende dan bahasa Lio. Bahasa Ende digunakan
oleh masyarakat Ende yang berdiam hampir di sepanjang daerah pesisir Barat
Kabupaten Ende dan bahasa Lio digunakan oleh masyarakat Lio yang tersebar di
daerah pegunungan dan sebagiannya tersebar di wilayah bagian Timur dan pantai Utara
Kabupaten Ende. Kedua suku ini memiliki bahasa yang hampir sama namun mempunyai
dialek dan aksen (tekanan suara pada kata atau suku kata)
yang berbeda.
Masyarakat penutur
bahasa Ende menggunakan bahasa daerahnya, selain untuk keperluan komunikasi
sehari-hari juga digunakan untuk keperluan adat istiadat yang digunakan saat
upacara-upacara adat.
Sebagai alat
komunikasi yang digunakan sehari-hari, masyarakat penutur bahasa Ende
menggunakan bahasa daerahnya untuk berbagai macam keperluan atau kegiatan. Banyaknya
kegiatan yang dilakukan menyebabkan beragamnya pula bahasa yang digunakan untuk
berkomunikasi. Keragaman bahasa ini pula terlihat pada struktur fonologis
maupun morfologisnya. Selain itu, faktor yang menyebabkan adanya variasi
fonologis pada Bahasa Ende adalah kesamaan situasi dan tempat digunakannya kata
tersebut. Kesamaan situasi dan tempat di sini maksudnya adalah kata-kata yang
salah satu fonemnya berbeda, digunakan
pada tempat dan situasi yang sama dalam kalimat, memiliki makna yang sama. Sebagian
besar jenis kata yang memiliki variasi fonologis dalam bahasa Ende adalah kata
kerja.
Contoh, kata <zangga> dan <pangga> sama-sama memiliki arti langkah atau melangkah, namun kata
<zangga> digunakan untuk
langkah kaki, sedangkan kata <pangga>
digunakan untuk langkah jari tangan atau jengkal dan diistilahkan untuk ‘orang
yang sengaja memperlambat langkahnya’. Secara fonologis, perbedaan kedua kata
tersebut terletak pada fonem konsonan [z] atau [rh] untuk
sebutan dalam bahasa Ende pada kata <zangga>
dan fonem konsonan [p] pada kata <pangga>.
Fonem konsonan [p] secara umum direalisasikan sebagai bunyi [p] baik sebagai
onset pada sebuah silabel maupun sebagai koda seperti halnya dalam penyebutan
untuk kata dalam bahasa Indonesia seperti potong,
pagar, dan sebagainya. Sedangkan lafal
fonem konsonan [z] pada kata <zangga>
bukan seperti pada kata <zaman>
dalam lafal bahasa Indonesia. Kedua fonem konsonan ini berasal dari tempat
artikulasi yang berbeda, namun jika dilihat dari ciri fonetisnya keduanya sama-sama
merupakan fonem konsonantal dan anterior. Secara ortografis, dalam
bahasa Ende, <zangga> ditulis [rhaŋga]
dan kata <pangga> ditulis [paŋga]. Sama halnya fonem [k] pada kata [kɘdhu]
dan fonem [w] pada kata [wɘdhu] yang artinya mencabut dan dalam ciri
fonetis konsonan sama-sama merupakan bunyi velar.
Sama halnya dengan
fonem vokal pada jenis kata benda berikut ini. Fonem vokal /e/ pada kata <zase> dan fonem vokal /u/ pada kata
<zasu> yang sama-sama memiliki
arti penis (alat kelamin pria) atau
dipakai untuk makian. Pada umumnya bunyi vokal depan seperti /e/ dan /i/
diucapkan dengan bibir dilebarkan sedangkan vokal belakang seperti /u/ dan /o/
diucapkan dengan bibir dibulatkan. Secara ortografis, fonem vokal /e/ dan /u/
ditulis sama seperti bunyi asalnya yakni
[e] dan [u] dan sama pula pelafalannya pada kata sate dan susu dalam
bahasa Indonesia karena kata tersebut merupakan silabel terbuka.
Secara fonografi (ejaan
berdasarkan lafal) vokal [u] pada kata <zasu>
dan vokal [e] pada kata <zase>
ini merupakan dua buah vokal yang sangat jauh berbeda dalam proses menghasilkannya.
Akan tetapi, penutur Bahasa Ende (BE) secara konvensional memunculkan vokal [u]
sehingga menjadi sepadan dengan vokal [e] yang sebenarnya berbeda. Perbedaan
dalam pembuatan ini terlihat pada tinggi rendahnya lidah, posisi lidah,
ketegangan lidah, dan bentuk bibir.
Menurut Dardjowidjojo
(2005:38), kriteria yang dipakai untuk membentuk bunyi vokal adalah (1) tinggi-rendahnya
lidah, (2) posisi lidah, (3) ketegangan lidah, dan (4) bentuk bibir.
Vokal [e] merupakan
bunyi yang dihasilkan dengan posisi lidah dinaikkan setengah atau biasa disebut
tengah-depan. Sedangkan, vokal [u] merupakan bunyi yang dihasilkan dengan
posisi lidah bagian belakang (dorsum) dinaikkan hingga hampir menyentuh
langit-langit lunak (velum/velar).
Oleh karena dalam
bahasa Ende tidak mengenal suku tertutup, maka setiap vokal yang terdapat dalam
setiap kata ditulis sama seperti bunyi asalnya atau penyebutannya. Jadi, bunyi
vokal /a/, /i/, /u/, /e/, /ә-∂/, dan /o/ tetap ditulis [a], [i], [u], [e], [ә/∂],
dan [o].
Dari uraian pada latar
belakang di atas, peneliti mengambil judul Variasi Fonologis Bahasa Ende
sebagai tema pokok dalam melakukan penelitian. Adapun hal yang secara spesifik
yang akan diteliti adalah morfem-morfem dalam bahasa Ende yang memiliki variasi
pada struktur fonologisnya seperti beberapa kata yang telah diuraikan di atas.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian
pada latar belakang, peneliti membuat rumusan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah variasi fonologis morfem bahasa Ende?
2. Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan adanya variasi fonologis
tersebut?
1.3
Tujuan Penelitian
Dalam penelitian
apapun pasti seorang peneliti memiliki tujuan atas penelitiannya tersebut.
Adapun tujuan dari penelitian ini ada 2 macam, yakni tujuan umum dan tujuan
khusus.
1.3.1
Tujuan Umum
Secara umum,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi fonologis yang terdapat dalam
bahasa Ende serta untuk menemukan faktor-faktor yang menyebabkan adanya variasi
fonologis tersebut.
1.3.2
Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan
untuk:
1.
Menemukan dan mendeskripsikan variasi
fonologis yang terdapat dalam bahasa Ende.
2.
Menemukan dan mendeskripsikan
faktor-faktor yang menyebabkan munculnya variasi fonologis morfem dalam bahasa
Ende.
1.4
Manfaat Penelitian
Tentunya tiap
penelitian dapat menjawab permasalahan dan hasilnya dapat bermanfaat bagi semua
pihak, lebih khusus pada pembelajar bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa
daerah. Adapun manfaat dalam penelitian ini dibagi atas manfaat teoretis dan
manfaat praktis.
1.4.1
Manfaat Teoretis
Secara teoretis,
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam mengembangkan teori Fonologi
sehingga pembelajar bahasa dapat mengetahui perbedaan tiap variasi bahasa dalam
hal ini adalah variasi pada struktur fonologis pada bahasa daerah. Selain itu,
diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan untuk peneliti selanjutnya yang
ingin meneliti hal yang sama sebagai bahan kajian kepustakaannya.
1.4.2
Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis
dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Sebagai bahan informasi untuk
masyarakat yang menggunakan bahasa Ende namun tidak mengetahui variasi
fonologis pada setiap kata atau morfem dalam bahasanya.
2.
Untuk dipelajari lebih lanjut di
dunia pendidikan, khususnya pendidikan kebahasaan.
3.
Sebagai bahan pustaka bagi
peneliti-peneliti selanjutnya yang hendak meneliti objek yang sama sehingga
mempermudah proses penelitian.
4.
Sebagai bahan kajian ilmu kebahasaan,
lebih khusus pada bahasa daerah.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN TEORI
2.1
Kajian Pustaka
Kajian pustaka
merupakan telaah atas teori terkait dengan tema penelitian (Marietta, 2011:29).
Kesuma (2007:36
dalam Muhammad 2011:108) menyebutkan bahwa terdapat tiga fungsi kajian pustaka,
yaitu (1) untuk memastikan pernahnya masalah yang lagi diteliti dilakukan oleh
peneliti lain; (2) apakah masalah yang diteliti dikaji secara komperhensif,
lengkap dan hasinya memuaskan atau tidak; dan (3) mengungkapkan kekhasan atau
perbedaan masalah yang akan diteliti.
Beberapa penelitian
mengenai bahasa Ende telah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu untuk
menyelesaikan skripsi maupun karya ilmiah lainnya. Di antaranya adalah
penelitian yang dilakukan oleh Sandro (2011) mengenai Proses Morfofonemik
Bahasa Ende Dialek Nangapanda, Desa Sanggarhorho, Kecamatan Nangapanda,
Kabupaten Ende. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah proses
morfofonemik yang terdapat dalam bahasa Ende dialek Nangapanda Desa Sanggarhorho
dan kata-kata dalam bahasa Ende yang mengalami proses morfofonemik. Hasil dari
penelitian ini menyatakan bahwa morfologi prefiks
pe- menjadi pa-, dan se- menjadi sa- dipengaruhi oleh dialektika bahasa
Ende dialek Nangapanda Desa Sanggarhorho. Pembentukan kata dari bentuk dasar
yang diberi prefiks pe-, pa-, se-,
dan prefiks sa- mengalami perubahan
arti dan perubahan bunyi.
Peneliti juga
merujuk pada penelitian yang telah dilakukan oleh Riyono (2009) tentang Variasi
Fonologis dan Morfologis Bahasa Jawa di Kabupaten Pati (http://ahdiriyono.blogspot.com/2009/07/bahasa.html). Permasalahan
yang diangkat dalam penelitian ini adalah variasi fonologis pemakaian bahasa
Jawa di Kabupaten Pati dan variasi morfologis pemakaian bahasa Jawa di
Kabupaten Pati. Penelitiannya berfokus pada variasi fonem vokal dan konsonan
yang terjadi di daerah perkotaan dan pedesaan seperti bunyi [i] menjadi [I],
dan [I] menjadi [E]. Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa variasi fonologis pemakaian bahasa Jawa di Kabupaten Pati
terbentuk karena penutur berasal dari kelompok sosial yang berbeda dan faktor
keadaan alam, yaitu letak wilayah tempat tinggal penutur. Perbedaan dengan
bahasa Jawa lainnya hanya terletak pada dialek saja.
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Isaura (2011)
dengan judul Variasi Fonologis Bahasa Jawa di Kabupaten Pemalang (http://lib.unnes.ac.id/11048/). Permasalahan
yang diangkat dalam penelitian ini yaitu variasi fonologis yang terdapat dalam
bahasa Jawa Kabupaten Pemalang. Adapun hasil dari penelitian tersebut
menyatakan bahwa adanya variasi fonologis disebabkan karena beragamnya dialek
yang digunakan di Kabupaten Pemalang. Variasi Fonologis yang terjadi yaitu pada
bentuk fonem vokal bahasa Jawa di Kabupaten Pemalang yang berupa 10 variasi
fonem vokal /a/, /∂/, /|/, /ǝ/‚ / /,
/u/, /U/, /I/, /i/, /O/, /o/, dan variasi fonem konsonan bahasa Jawa Kabupaten
Pemalang, yaitu /p/, /s/, /n/, /j/, /m/, /b/, /g/, /k/, /c/, /t/, /th/, /l/,
/h/, /y/, /r/, /d/, /dh/. Terdapat 18 gugus konsonan bahasa Jawa di Kabupaten
Pemalang, distribusi fonem vokal dan konsonan dapat menduduki semua posisi
kecuali /∂/ pada fonem vokal di posisi akhir dan /n/, /j/, /c/, /w/ di bagian
akhir, sedangkan untuk distribusi gugus konsonan bahasa Jawa tidak ditemukan di
bagian akhir.
Adapun persamaan dari beberapa penelitian yang disebutkan di
atas dengan penelitian mengenai Variasi Fonologis Morfem Bahasa Ende ini adalah
sama-sama meneliti tentang variasi pada bahasa daerah dalam bidang fonologi.
Bedanya, jika dalam penelitian-penelitian yang disebutkan di atas meneliti
tentang variasi fonogis dan morfologis secara umum dalam bahasa daerahnya, maka
penelitian ini hanya dilakukan pada variasi fonologis pada beberapa morfem
dalam bahasa daerah Ende.
Pada penelitian ini, peneliti mengambil judul Variasi
Fonologis Morfem Bahasa Ende dengan merujuk pada beberapa penelitian yang telah
dilakukan di atas.
2.2
Konsep
2.2.1
Variasi Fonologis
Variasi (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) adalah 1. tindakan atau hasil perubahan dari keadaan semula;
selingan; 2. bentuk (rupa) yang lain; yang berbeda bentuk (rupa); 3. hiasan
tambahan; 4. wujud pelbagai manifestasi, baik bersyarat maupun tidak bersyarat
dari suatu satuan.
Variasi
fonologis adalah variasi pemakaian bunyi yang bersifat fonetis dan tidak
membedakan makna. Variasi tersebut terbentuk karena penutur berasal dari
kelompok sosial yang berbeda dan faktor keadaan alam, yaitu letak wilayah
tempat tinggal penutur.
Variasi fonologis dalam pemakaian Bahasa Ende juga dipengaruhi oleh beberapa
faktor tersebut.
Pendapat
lain menyatakan bahwa variasi fonologi adalah variasi pemakaian bunyi yang
bersifat fonetis dan tidak membedakan makna. Variasi tersebut terbentuk karena
letak wilayah tinggal penutur dan kelompok sosial penutur yang berbeda,
sehingga menimbulkan pengucapan fonem yang berbeda.
Nadra
dan Reniwati (2009:23) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan variasi fonologis
adalah variasi bahasa yang terdapat dalam bidang fonologi, yang mencakup
variasi bunyi dan variasi fonem.
Contoh
variasi fonologis antara lain terjadi penambahan bunyi, pelesapan bunyi,
pergeseran bunyi, dan sebagainya. Dalam bahasa Ende, penambahan bunyi terjadi
seperti pada kata <kae> dimana
muncul bunyi glotal (penghamzahan)
antara fonem vokal [a] dan [e] atau dalam bidang linguistik bunyi ini ditulis
seperti tanda tanya (?). sedangkan
pelesapan bunyi terjadi pada kata <miu>
yang artinya kalian, dimana fonem
vokal [i] dilesapkan atau dihilangkan ketika diikuti kata ganti orang seperti
<ine miu> menjadi <ine mu> atau <kau>. Juga kata <sai> menjadi <si> seperti terjadi
pada kata <tau sai> menjadi
<tau si> yang artinya lakukanlah atau buatlah.
2.2.2
Morfem
Morfem (Kamus Besar Bahasa
Indonesia) adalah satuan bentuk bahasa terkecil yang mempunyai makna secara
relatif stabil dan tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil.
Atau dengan kata lain, morfem adalah kesatuan yang ikut serta dalam pembentukan kata dan yang
dapat dibedakan artinya.
Menurut
Ramlan (2009:32), morfem adalah satuan gramatik yang paling kecil; satuan
gramatik yang tidak mempunyai satuan lain sebagai unsurnya. Ada pula yang
mendefinisikan morfem sebagai bentuk bahasa yang dapat dipotong-potong menjadi
bagian yang lebih kecil, yang kemudian dapat dipotong lagi menjadi bagian yang
lebih kecil lagi begitu seterusnya sampai ke bentuk yang jika dipotong lagi
tidak mempunyai makna.
Satuan
bahasa merupakan komposit antara bentuk dan makna. Oleh karena itu, untuk
menetapkan sebuah bentuk adalah morfem atau bukan didasarkan pada kriteria
bentuk dan makna itu (Chaer, 2008:13).
Contoh
morfem seperti kata <keadaan>
yang dapat dipotong-potong menjadi <ke->
sebagai prefiks (imbuhan awalan), <ada>
sebagai kata asal, <-an>
sebagai sufiks (imbuhan akhiran), <ke-an> sebagai konsfiks (imbuhan
gabungan), dan <keadaan>
sebagai kata jadian (proses pengimbuhan). Pecahan-pecahan tersebut di atas
itulah yang disebut sebagai morfem, baik sebagai morfem bebas maupun morfem
terikat.
2.2.3
Bahasa dan Bahasa Daerah
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Bahasa ialah 1. sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan
oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan
mengiden-tifikasikan diri; 2. percakapan (perkataan) yang baik; tingkah laku yang
baik; sopan santun: budi bahasa atau perangai serta tutur kata menunjukkan
sifat dan tabiat seseorang (baik buruk kelakuan menunjukkan tinggi rendah asal
atau keturunan). Sedangkan, bahasa daerah adalah bahasa yang lazim dipakai di
suatu daerah; bahasa suku bangsa (Kamus Besar Bahasa Indonesia offline).
Bahasa merupakan sistem
tanda bunyi ujaran yang bersifat arbitrer atau sewenang-wenang (Subroto,
2007:12 dalam Muhammad, 2011:40).
Kridalaksana (1983) dan juga
dalam Koentjono (1982) dalam Muhammad (2011:40) menyatakan bahwa bahasa
merupakan sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan oleh para anggota
kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan
diri.
Ada pula yang menyatakan
bahwa bahasa adalah sistem tanda bunyi
yang disusun berdasarkan kesepakatan bersama yang digunakan sebagai alat
komunikasi dalam rangka menjalankan interaksi sosial.
2.2.4
Bahasa Ende
Kabupaten
Ende adalah salah satu dari belasan kabupaten yang ada di Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Kabupaten Ende terletak hampir tepat berada di tengah-tengah
Pulau Flores. Kabupaten yang merupakan tempat lahirnya falsafah Negara
Indonesia ini mempunyai dua suku, yaitu: Suku Ende dan Suku Lio. Suku Ende
tersebar hampir di sepanjang daerah pesisir Barat Kabupaten Ende sedangkan Suku
Lio tersebar di daerah pegunungan dan sebagiannya tersebar di wilayah bagian
Timur dan Utara Kabupaten Ende.
Bahasa Ende adalah salah
satu bahasa daerah yang terdapat di Pulau Flores yang digunakan oleh penutur
asli Ende yang secara historis berada pada satu garis proto dengan bahasa Lio.
Dikatakan satu proto karena dilihat dari struktur fonologis, morfologis dan
sintaksisnya kedua bahasa ini memiliki kesamaan pada beberapa fonem dan morfem.
Kata ‘Bahasa’ dalam bahasa
Ende disebut ‘Sara’. Bahasa Ende dibagi menjadi dua, yaitu Bahasa Ende dan Bahasa
Lio. Bahasa Ende digunakan oleh masyarakat Suku Ende, sedangkan Bahasa Lio
digunakan oleh masyarakat Suku Lio. Kedua suku ini mempunyai bahasa yang hampir
sama namun, kedua bahasa ini mempunyai dialek dan aksen yang berbeda. Akan
tetapi, kedua bahasa ini mempunyai kosakata yang mirip, hanya saja terdapat
sedikit perbedaan pada huruf konsonan yang digunakan dalam banyak kata,
misalnya, lambu (Bahasa Lio) dan zambu (Bahasa
Ende) untuk baju, selake (Bahasa Lio) dan sezake
(Bahasa Ende) untuk celana, lako (Bahasa Lio) dan zako
(Bahasa Ende) untuk anjing, zera (Bahasa Ende)
dan leja (Bahasa Lio) untuk terik, raza
dan jala (Bahasa Lio) untuk jalan, iza
(Bahasa Ende) dan ila (Bahasa Lio) untuk lampu, raka
(Bahasa Ende) dan jaka (Bahasa Lio) untuk
rebus atau merebus, dan masih banyak lainnya.
2.3 Teori
Dalam sebuah penelitian tentu seorang peneliti
membutuhkan data yang akurat serta rill. Data yang akurat dan rill ini akan
dijadikan peneliti sebagai acuan dalam
menganalisis penelitiannya. Oleh karena itu, peneliti menggunakan teori yang
sesuai dengan penelitiannya untuk dijadikan acuan atau pedoman untuk
menganalisis tiap data yang diteliti. Teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar
fokus penelitian sesuai dengan kenyataan di lapangan. Selain itu, landasan
teori juga bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian
dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian.
Teori adalah sekumpulan proposisi yang saling
berkaitan secara logis untuk memberikan penjelasan mengenai sejumlah fenomena
(Liang, 1984:57 melalui Kesuma (2007:37 dalam Muhammad, 2011:109).
Dengan melihat definisi yang diutarakan oleh
Kridalaksana, Muhammad (2011:109) berpendapat bahwa teori tidak hanya sekedar
hipotesis, tetapi lebih pada penjelasan berdasarkan konsep dan argumen tentang
suatu fenomena, misalnya bahasa.
Dalam penelitian bahasa, yang berobjekkan fonem,
morfem, kata, frase, klausa, kalimat, teks, wacana, makna, pengguna, dan
penggunaan bahasa dapat dijelaskan oleh teori, yaitu teori bahasa (Muhammad,
2001:111).
Adapun teori yang digunakan sebagai acauan peneliti
dalam menganalisis data, yakni teori fonologi tentang morfofonemik. Chaer
(2009:1) memberikan batasan bahwa fonologi adalah sebuah ilmu kajian linguistik
yang mempelajari, membahas, membicarakan dan menganalisis bunyi-bunyi bahasa
yang diproduksi oleh alat-alat ucap manusia (artikulator). Lebih lanjut, Abdul Chaer
(2003:102 dalam http://uniisna.wordpress.com) mengatakan, secara etimologi
istilah “fonologi” ini dibentuk dari kata fon
yang berarti “bunyi” dan logi
yang berarti ilmu. Jadi, secara sederhana dapat dikatakan bahwa fonologi
merupakan ilmu yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa pada umumnya. Objek
kajiannya adalah fon atau bunyi
bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (artikulator).
Muhammad (2011:126) menyatakan bahwa fonologi adalah
cabang ilmu linguistik yang mengkaji atau menelaah cara-cara mengatur dan
menggunakan bunyi bahasa alamiah.
Fonologi menguraikan pola-pola bunyi dan jenis bunyi
yang dihasilkan oleh penutur bahasa yang dipelajari. Selain itu, fonologi
menelaah urutan-urutan fonem suatu bahasa.
Verhaar
(1984:36 dalam http://uniisna.wordpress.com) mengatakan bahwa fonologi
merupakan bidang khusus dalam linguistik yang mengamati bunyi-bunyi suatu
bahasa tertentu sesuai dengan fungsinya untuk membedakan makna leksikal
dalam suatu bahasa. Bunyi bahasa yang dimaksud oleh Verhaar di sini adalah
bunyi-bunyi bahasa yang berfungsi membedakan makna kata.
Fonologi adalah salah satu cabang ilmu bahasa
(linguistik) yang mengkaji dan menganalisis bunyi
ujaran pada suatu bahasa dengan cara mempelajari bagaimana bunyi ujaran itu dihasilkan oleh alat ucap manusia (artikulator), bagaimana bunyi ujaran itu sebagai getaran udara,
bagaimana bunyi ujaran itu diterima oleh telinga manusia, dan
bagaimana bunyi ujaran itu dalam fungsinya sebagai pembeda makna.
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, morfofonemik adalah telaah tentang perubahan-perubahan fonem yang
terjadi sebagai akibat pertemuan (hubungan) morfem dengan morfem lain.
Morfofonemik (disebut juga morfonologi atau
morfofonologi) adalah kajian mengenai terjadinya perubahan bunyi atau perubahan
fonem sebagai akibat dari adanya proses morfologi, baik proses afiksasi, proses
reduplikasi, maupun proses komposisi (Chaer, 2008:43). Umpamanya, perubahan
bentuk dalam proses afiksasi yakni pelesapan fonem yang terjadi pada prefiks ber- pada kata dasar ‘renang’ yang
secara ortografis berubah dan diterima oleh masyarakat penutur Bahasa Indonesia
sebagai ‘berenang’ dan bukan ‘berrenang’. Bunyi [r] yang ada pada prefiks ber- dilesapkan pada saat terjadi
perubahan morfologi. Hal yang sama juga terjadi pada kata dasar ‘sejarah’
dengan sufiks asing ‘-wan’ yang melesapkan fonem /h/ pada kata dasar ‘sejarah’
yang secara ortografis berubah dan diterima menjadi ‘sejarawan’ dan bukan
‘sejarahwan’.
Selain pelesapan, dalam proses morfologi
(morfofonemik) juga dikenal dengan beberapa jenis perubahan, yakni adanya
pemunculan fonem, peluluhan fonem, perubahan fonem, dan pergeseran fonem.
Menurut Chaer (2008:44), pelesapan fonem adalah
hilangnya fonem dalam suatu proses morfologi.
Dalam bahasa daerah Ende, pun terjadi proses morfologi
(morfofonemik). Sebagai contoh, kata ‘tea’ yang artinya ‘matang’, mengalami
proses pemunculan fonem, antara bunyi vokal [a] dan bunyi vokal [e], yakni
munculnya bunyi glotal atau hamzah. Lumrahnya, penulisan bunyi glotal atau hamzah ini dalam fonologi dilambangkan dengan tanda baca tanya yang
ditulis miring (?). Pemunculan fonem
ini lazimnya terdapat pada kata yang memiliki bunyi vokal rangkap seperti /aa,
ae, ai, au, ao, ea, ee, ei, eu, eo, ia, ie, ii, io, iu, oa, oe, oi, oo, ua, ue,
ui, uu, uo/.
Adapun proses pelesapan fonem dalam Bahasa Ende (BE)
tidak seperti yang terdapat dalam bahasa Indonesia. Lesapnya fonem dalam BE
tidak terdapat pada prefiks (awalan), melainkan pada kata atau morfem itu
sendiri yang secara konvensional, baik disengaja atau tidak disengaja,
digunakan oleh penutur BE. Kata ‘kai’ yang artinya dia dilesapkan menjadi ‘ki’ atau kata ‘abe’ yang artinya mereka dilesapkan menjadi ‘be’ dan
beberapa kata lainnya.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan
Penelitian
Pendekatan penelitian bisa diartikan: (a) apakah suatu
penelitian itu kuantitatif atau kualitatif (Nunan, 1992:4 dalam Marietta,
2011:12) atau (b) apakah penelitian itu penelitian ruangan atau lapangan
(Blaxter, Hughes dan Thight, 2001:91-97 dalam Marietta, 2011:12).
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian tentang Variasi
Fonologis Morfem Bahasa Ende menggunakan pendekatan kualitatif deskripif dimana
data yang diambil berupa kata-kata, yakni tuturan atau dialek yang biasa
digunakan oleh penutur asli Ende dalam kesehariannya untuk berkomunikasi.
Deskriptif adalah sifat data penelitian kualitatif. Wujud
datanya berupa deskripsi objek penelitian. Dengan kata lain, wujud data
penelitian kualitatif adalah kata-kata, gambar, dan angka-angka yang tidak
dihasilkan melalui pengolahan statistika. Data yang deskriptif ini bisa dihasilkan
dari transkrip (hasil) wawancara, catatan lapangan melalui pengamatan,
foto-foto, video-tape, dokumen pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi yang lain.
Bogdan dan Taylor (1975:5) dalam Moleong (2010:4) yang
diadopsi oleh Muhammad, (2011:30) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Selanjutnya, Berg
(2007:3) yang diadopsi oleh Djam’an (2010:12) dalam Muhammad (2011:30)
menyatakan bahwa penelitian kualitatif, “Refers
to the meaning, concept, definitions, characteristic, metaphors, symbols, and
descriptions of thing”. Menurut definisi ini, penelitian kualitatif
ditekankan pada deskripsi objek yang diteliti.
Muhammad (2010:23) dalam Muhammad (2011:31) menyebutkan
bahwa salah satu fenomena yang dapat menjadi objek penelitian kualitatif adalah
peristiwa komunikasi atau berbahasa karena peristiwa ini melibatkan tuturan,
makna semantik tutur, orang yang bertutur, maksud yang bertutur, situasi tutur,
peristiwa tutur, tindak tutur, dan latar tuturan.
3.2 Data dan
Sumber Data
3.2.1 Data
Data
merupakan bahan untuk menjawab pertanyaan, memecahkan permasalahan atau
membuktikan hipotesis penelitian (Marietta, 2011:15). Sedangkan, Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) data adalah keterangan atau bahan nyata yang
dapat dijadikan dasar kajian (analisis atau kesimpulan). Dan, Muhammad
(2011:168) berpendapat bahwa data merupakan perangkat untuk menjawab soal-soal
penelitian.
Mengenai
bentuk data, Nunan (1992:231) dan Blaxter, Hughes dan Thight (2001:296-297)
dalam Marietta (2011:16) menyatakan bahwa data dapat berupa angka, yang disebut
data kuantitatif, dan yang bukan angka, yang disebut data kualitatif.
Data
yang terdapat dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yakni data yang
bukan angka atau berupa kata-kata verbal (lisan). Data kata-kata verbal (lisan)
disini maksudnya adalah tuturan, ujaran, perkataan, atau pembicaraan yang
dilakukan oleh penutur bahasa Ende sebagai data tunggal penelitian. Data lisan
merupakan data yang sifatnya benar-benar nyata dan asli.
3.2.2 Sumber Data
Sumber data terkait dengan dari siapa, apa, dan mana informasi mengenai fokus penelitian
diperoleh. Dengan kata lain, sumber data berkaitan dengan lokasi dan satuan
penelitian atau observation unit.
Jadi, sumber merupakan asal-usul dari apa,
siapa, dan mana data diperoleh.
Data dapat juga dihasilkan karena menggunakan metode penyediaan data, seperti
wawancara, pengamatan (observasi), itrospeksi, dan dokumen (Muhammad,
2011:167).
Sumber data merupakan asal data yang diperoleh dalam
penelitian. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber lisan, yakni diambil
dari percakapan atau pembicaraan dari penutur asli bahasa Ende yang menggunakan
bahasanya untuk berkomunikasi sehari-hari selain bahasa kedua, bahasa
Indonesia. Sumber data didapatkan dengan cara peneliti melibatkan diri dengan
masyarakat penutur yakni dengan bercakap-cakap dan mendengarkan setiap
percakapan yang dilakukan.
Pengambilan sumber data lisan bertujuan agar memudahkan
peneliti mendapatkan data yang benar-benar asli dari penutur bahasa Ende sendiri
karena data lisan merupakan hal pokok yang dikaji dalam penelitian ini. Setiap
kata yang diucapkan–kata-kata yang menurut peneliti memiliki variasi pada
struktur fonologis akan dicatat atau direkam sebagai sumber data penelitian.
Menurut Moleong (2010:396), yang dikutip oleh Muhammad
(2011:170) menyarankan agar seorang peneliti memeriksa keabsahan data secara
komperhensif. Keabsahan data mencakup metode pengumpulan data yang diterapkan
di lokasi penelitian, seperti perpanjangan keikutsertaan dalam melakukan
penelitian.
Sebelum turun ke lapangan untuk mendapatkan sumber data
tersebut terlebih dahulu peneliti membuat daftar kata-kata yang sesuai dengan
penelitian sehingga memudahkan peneliti mendapatkan data dan mempercepat waktu
proses penelitian.
3.3 Metode
Pengumpulan Data
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) metode adalah cara teratur yang digunakan
untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang
dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan
guna mencapai tujuan yang ditentukan.
Dalam
penelitian kualitatif, ada tiga cara atau metode untuk mengumpulkan data.
Pertama adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan mengamati apa-apa yang
diteliti atau metode pengamatan atau metode simak. Data yang dihasilkan dengan
menggunakan metode ini berupa transkrip, catatan lapangan, narasi, dan
deskripsi. Kedua adalah metode wawancara atau metode cakap atau interviewing method. Data yang
dihasilkan oleh metode ini dengan menerapkan teknik-teknik tertentu adalah
transkrip wawancara, rekaman, atau catatan lapangan. Ketiga adalah dengan
menggunakan metode dokumen dimana dokumen menjadi satuan penelitian yang di
dalamnya terdapat satuan analisis.
Untuk memperoleh data yang memadai, dalam penelitian bahasa
diterapkan beberapa metode pengumpulan data, yakni (1) metode simak
(pengamatan/observasi); (2) metode cakap (wawancara), dan (3) metode
introspeksi (Muhammad, 2011:194).
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode simak dan metode cakap. Metode simak (pengamatan/observasi)
adalah metode yang digunakan untuk memperoleh data dengan melakukan penyimakan
terhadap penggunaan bahasa (Muhammad, 2011:194). Metode simak digunakan untuk
menyimak penggunaan bahasa yang diwujudkan dalam bentuk teknik Simak Bebas
Libat Cakap.
Sedangkan metode cakap (wawancara) adalah metode
pengumpulan data dengan melakukan percakapan dengan para informan (Muhammad,
2011:195). Teknik dasar yang digunakan dalam metode ini adalah teknik pancing
yang diikuti dengan teknik lanjutan yakni teknik cakap semuka. Pada pelaksanaan
teknik cakap semuka, peneliti langsung melakukan percakapan dengan pengguna
bahasa sebagai informan.
Peneliti juga menggunakan kata-kata yang telah didaftarkan
sebelumnya pada beberapa lembar kertas untuk ditanyakan kepada penutur bahasa
Ende mengenai penggunaannya pada komunikasi sehari-hari, baik tempat maupun
situasi digunakannya kata-kata tersebut. Hal ini dilakukan mengingat penggunaan
kata-kata tersebut pada tempat dan situasi di dalam kalimat yang tidak serta
merta ada dalam pembicaraan atau percakapan saat penelitian dilakukan. Selain
itu juga mengingat waktu penelitian yang terbatas sehingga dibuatkan daftar
kata untuk memudahkan dan mempercepat jalannya penelitian.
3.4 Teknik Pengumpulan
Data
Sejalan dengan metode yang
disebutkan di atas, yakni metode simak dan metode cakap, maka teknik yang
digunakan adalah teknik Simak Libat Cakap. Pada teknik ini, peneliti melakukan
penyadapan dengan cara berpartisipasi sambil menyimak, berpartisipasi dalam
pembicaraan, dan menyimak para informan dalam hal ini, peneliti terlibat
langsung dalam dialog (Mahsun, 2007:246 dalam Muhammad, 2011:194).
Selain itu, teknik yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teknik sadap yang merupakan dasar dari metode simak
(pengamatan/observasi). Teknik sadap disebut teknik dasar dalam metode simak
karena pada hakikatnya penyimakan diwujudkan dengan penyadapan, dalam arti
penelitian dalam upaya mendapatkan data dilakukan dengan menyadap penggunaan
bahasa seseorang atau beberapa orang yang menjadi informan (Mahsun, 2007:242
dalam Muhammad, 2011:194).
3.5 Metode dan
Teknik Analisis Data
Metode adalah cara yang harus dilaksanakan; teknik adalah
cara melaksanakan metode (Sudaryanto, 1993:9).
Menurut Patton (1988) dalam Kaelan (2005:209), yang dikutip
oleh Muhammad (2009:221) menyatakan bahwa analisis data merupakan suatu proses
mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan
satuan uraian besar.
Subroto (2007:59 dalam Muhammad 2011:222) menyatakan bahwa
menganalisis berarti mengurai atau memilah-bedakan unsur-unsur yang membentuk
satuan lingual atau mengurai suatu satuan lingual ke dalam
komponen-komponennya.
Muhammad (2011:222) dengan menyimpulkan pendapat dari
Subroto (2007) dan Sudaryanto (1993) berpendapat bahwa analisis data merupakan
suatu aktivitas mengurai atau memburaikan data untuk melahirkan kaidah atau
kaidah-kaidah yang berkenaan dengan fokus penelitian dengan menggunakan metode,
teknik, dan alat.
Tahap analisis data merupakan upaya sang peneliti menangani
langsung masalah yang terkandung pada data (Sudaryanto, 1993:6).
Adapun tahap menganalisis data dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan metode dan teknik yang sesuai agar data yang dianalisis
kebenarannya dapat teruji dan valid.
3.5.1 Metode Analisis Data
Metode analisis data adalah cara yang digunakan peneliti dalam
menganalisis setiap data yang diperoleh dari lapangan atau tempat dilakukannya
penelitian dengan berdasarkan pada teori yang sesuai dengan judul penelitian.
Muhammad (2011:233), dengan mengutip kalimat atau berdasar
pada pengertian metode dalam kamus Oxford
(2005) menyimpulkan bahwa metode analisis data adalah cara menguraikan dan
mengelompokkan satuan lingual sesuai dengan pola-pola, tema-tema,
kategori-kategori, kaidah-kaidah, dan masalah-masalah penelitian.
Adapun metode yang digunakan dalam menganalisis data yang
dikumpulkan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode padan atau identity method dan metode agih atau distributional method.
Metode padan merupakan cara menganalisis data untuk
menjawab masalah yang diteliti dengan alat penentu berasal dari luar bahasa.
Artinya, aspek luar bahasalah yang menentukan satuan lingual sasaran
penelitian. Metode padan atau identity
method merupakan metode analisis data yang menggunakan alat penentu di luar
unsur bahasa (Djajasudarma, 1993:58 dalam Muhammad, 2011:196).
Metode padan, alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak
menjadi bagian dari bahasa (langue)
yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:13).
Sedangkan, metode distribusional menggunakan alat penentu
dasar bahasa. Metode distribusional memakai alat penentu di dalam bahasa yang
diteliti (Muhammad, 2011:196).
3.5.2 Teknik Analisis Data
Analisis data adalah kegiatan menguraikan, menjabarkan,
menyelidiki, memecahkan atau menganalisis permasalahan dalam hal ini data
penelitian yang telah dikumpulkan dengan menggunakan metode dan teknik tertentu
serta berlandaskan pada teori yang sesuai.
Teknik yang digunakan dalam menganalisis data dalam
penelitian ini adalah teknik Pilah Unsur Penentu (PUP) atau dividing-key-factors technique. Teknik
Pilah Unsur Penentu yang selanjutnya disebut PUP dalam penelitian ini merupakan
teknik dasar untuk melaksanakan metode padan. Alat teknik ini adalah kemampuan
peneliti dalam memilah data. kemampuan yang dimiliki peneliti bersifat mental,
mengandalkan intuisi, dan menggunakan pengetahuan teoritis.
Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam menganalisis data
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.
Mengumpulkan dan mengorganisasikan
data yang telah diperoleh.
b.
Membaca data secara keseluruhan
dan membuat catatan sehingga memperjelas maksud dari data yang disajikan.
c.
Mengelompokkan setiap data (contoh
kata-kata verbal yang mengalami variasi fonologis) yang ada ke dalam
masing-masing bagian sehingga mempermudah analisis.
d.
Memberikan penjelasan terhadap
setiap data yang telah dikelompokkan tersebut serta memberikan penjelasan
secara naratif mengenai fenomena yang diteliti.
3.6 Teknik
Penyajian Data
Setelah data dikumpulkan dan dianalisis, selanjutnya data
tersebut disajikan. Penyajian data dilakukan dengan dua teknik, yakni teknik
formal dan teknik informal.
Menurut Sudaryanto (1993:31) dalam Muhammad (2011:172)
menyatakan bahwa ada dua cara penyajian data, yaitu dengan metode formal dan
metode informal. Kaidah-kaidah yang diperoleh melalui analisis itu disajikan
dengan menggunakan bahasa biasa, lambang, dan tanda.
Menurut Mahsun (2007:116 dalam Muhammad, 2011:196) hasil
penelitian data akan disajikan dengan dua cara, yaitu dengan menggunakan metode
formal dan metode informal. Metode formal adalah metode penyajian hasil
analisis data menggunakan perumusan dengan tanda dan lambang-lambang. Tanda
yang dimaksud antara lain: tanda kurun biasa ((...)), tanda kurung siku
([...]), tanda petik satu (‘...’), tanda petik dua (“...”), dan tanda baca
lainnya.