BAB IV
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Temuan
Temuan yang dikumpulkan sebagai data dalam
penelitian ini yakni variasi fonologis pada fonem vokal, konsonan, dan proses
morfofonemik. Selanjutnya dijelaskan sebagai berikut:
4.1.1 Variasi Fonologis pada Fonem Vokal
Perbedaan bunyi yang menyebabkan adanya variasi fonologis pada fonem vokal
dalam Bahasa Ende, antara lain:
1. Variasi Bunyi /e/ dan /u/
Variasi bunyi vokal /e/ pada kata rhase dan bunyi vokal /u/
pada kata rhasu sama-sama
memiliki makna alat kelamin atau kemaluan pada pria (penis, zakar), dan
digunakan untuk makian.
Contoh: (1) Kai ro re rhase
ki.
Dia sakit di penis
dia
Dia sakit di penisnya.
(2) Ana rhasu ku, iwa ngaza mai ndia wazi.
Anak penis
kamu, tidak bisa
datang sini lagi.s
‘Anak
penis’ kau, jangan datang kesini lagi!
Pernyataan yang terdapat dalam kalimat
(1) adalah menujukkan makna kata rhase
yang sebenarnya yakni penis. Pernyataan dalam kalimat (2) menunjukkan makna
kata rhasu yang digunakan
untuk memaki atau makian karena marah atau kesal terhadap kelakuan yang kurang
baik dari seseorang.
Kedua fonem tersebut memiliki perbedaan
yang sangat jauh. Fonem /e/ adalah fonem tengah
meninggi-depan-tak bundar, sedangkan fonem /u/ adalah fonem atas meninggi-belakang-bundar.
Sebenarnya dalam BE hanya ada kata rhase. Munculnya fonem /u/
yang membentuk kata rhasu
disebabkan karena masuknya penutur lain ke dalam wilayah Desa Borokanda yang
dalam kesehariannya lebih terbiasa menuturkan kata rhasu atau lasu
daripada kata rhase
seperti wilayah Nio I yang merupakan pendatang yang berasal dari Bajawa.
2. Variasi Bunyi /a/ dan /u/
Variasi bunyi vokal /a/ pada kata mora dan bunyi vokal /u/ pada kata moru sama-sama memiliki makna jatuh/berjatuhan,
berguguran. Kata mora digunakan dalam
kalimat untuk menyebutkan benda yakni daun yang berjatuhan atau berguguran dari
pohonnya. Sedangkan, kata moru
digunakan dalam kalimat untuk menjelaskan daun dan rambut atau bulu pada tubuh
manusia yang berjatuhan atau berguguran. Kata moru juga digunakan untuk istilah rambut “jatuh” atau rambut lurus
terurai.
Contoh: (1) Wurha ngere na wunu
pupu
mora mbǝja ka.
Bulan seperti
ini daun gamal
jatuh habis sudah.
Musim seperti ini daun gamal berguguran.
(2) Kere
nggǝna rhǝngi tana na fu jo moru
mbǝja.
Sejak kena minyak tanah itu rambut saya jatuh habis.
Sejak terkena minyak tanah rambutku jadi
jatuh/rontok.
(3) Ana
na
na fu ki moru ngera
rhimba.
Anak itu itu rambut
dia
jatuh berserakan
terus.
Anak itu
rambutnya jatuh lurus terurai.
Kata mora yang ditunjukkan dalam kalimat (1) memiliki makna yang sama
seperti pada kalimat (2) dan (3) yakni jatuh. Namun, dalam kalimat (3) jatuh yang dimaknai tersebut merupakan
wujud yang diistilahkan untuk rambut yang lurus terurai. Penutur Ende yang
berada di Desa Borokanda mengistilahkan rambut yang lurus adalah rambut ‘jatuh’
terurai.
Pada kedua kata di atas terdapat dua fonem
berbeda yakni /u/ dan /a/ yang dilengkapi dengan fonem /m, o, dan r/ yang membentuk kata mora dan moru yang juga
memiliki makna dan penggunaan yang sama dalam kalimat. Sesungguhnya, fonem /u/
dan /a/ merupakan dua fonem yang berbeda pada proses pembuatannya. Dilihat pada
posisi lidah, mulut (bibir), fonem /u/ adalah fonem atas meninggi-belakang-bundar. Sedangkan, fonem /a/ adalah fonem bawah merendah-tengah-bundar. Namun,
keduanya memiliki kesamaan yakni merupakan fonem yang ketika diproduksi atau
dibuat letak bagian lidahnya terdapat di belakang mulut dan merupakan bunyi
yang diproduksi dengan bentuk mulut yang bundar. Jadi, fonem /u/ adalah
[+vokalik], [+belakang], [+bundar] dan fonem /a/ adalah [+vokalik], [+bundar].
3. Variasi Bunyi /u/ dan /a/
Variasi bunyi vokal /u/ pada kata wǝdhu dan bunyi vokal /a/
pada kata wǝdha yang
memiliki makna yang sama yakni /cabut/ atau /mencabut/. Kata wǝdha digunakan dalam kalimat
untuk menjelaskan tindakan cabut atau
mencabut sesuatu secara kasar atau
mencabut sesuatu yang keras sehingga harus dipaksakan. Sedangkan kata wǝdhu digunakan dalam kalimat
selain untuk menjelaskan tindakan cabut
atau mencabut sesuatu yang kuat juga
digunakan untuk tindakan yang dilakukan secara perlahan-lahan dan tidak
menggunakan tenaga penuh pada sesuatu atau benda yang halus, lembek, lunak atau
mudah dicabut.
Contoh:
(1) Ma’e wǝdha
kabe na!
Jangan cabut kabel itu!
Jangan dicabut kabel itu!
(2)
Kau wǝdhu mbǝne
pa nore we.
Kau/kamu cabut rumput di sana saja.
Kamu cabut rumput di sebelah sana saja.
(3) Kuda
kada: -- --
Makna:
berdesak-desakan, bersesak-sesakan.
Contoh: miu ma’e mbi kuda kada pa na na.
Kalian jangan terlalu bersesak-sesakan di sini ini.
Kalian jangan bersesak-sesakan di sini.
Kata wǝdha dan wǝdhu
yang terdapat dalam kalimat (1) dan (2) memiliki makna yang sama yakni cabut
atau mencabut. Namun di sisi lain, penggunaan kata wǝdhu dalam kalimat oleh masyarakat Desa Borokanda dan
penutur BE umumnya dirasakan lebih kasar dibanding kata wǝdha. Sedangkan, pada kalimat (3) kata kuda kada merupakan sebuah istilah yang
ditujukan kepada seseorang atau beberapa orang yang melakukan tindakan
bersesak-sesakan atau berdesak-desakan. Kata kuda dan kada sendiri dalam BE
tidak memiliki arti untuk BI.
Pada kedua kata di atas terdapat dua
fonem berbeda yakni /u/ dan /a/ yang melengkapi bunyi /m, o, dan r/ sehingga
membentuk kata [mora] dan [moru] yang juga memiliki makna dan penggunaan yang
sama dalam kalimat. Sesungguhnya, fonem /u/ dan /a/ merupakan dua fonem yang
berbeda pada proses pembuatannya. Dilihat pada posisi lidah, mulut (bibir),
fonem /u/ adalah fonem atas meninggi-belakang-bundar.
Sedangkan, fonem /a/ adalah fonem bawah
merendah-tengah-bundar. Namun, keduanya merupakan fonem yang ketika
diproduksi atau dibuat letak bagian lidahnya terdapat di belakang mulut. Jadi,
fonem /a/ adalah [+vokalik], [+bundar] sedangkan fonem /u/ adalah [+vokalik],
[+belakang], [+bundar].
4. Variasi Bunyi /a/ dan /e/
Variasi bunyi vokal /a/ pada kata kǝta dan bunyi vokal /e/ pada kata kǝte yang memiliki makna yang sama yakni
dingin.
Contoh: (1) kopi na kǝta pǝka
Kopi ini dingin sudah.
Kopi ini sudah dingin.
(2) re
Moni na kǝte -e
Di Moni itu dingin sangat.
Di Moni sangat dingin.
Pada kalimat (1) kata kǝta yang bermakna dingin digunakan dalam kalimat pada saat
perubahan suhu dari panas menjadi dingin yang dinyatakan pada kata kopi.
Sedangkan, kata kǝte digunakan dalam
kalimat pada saat suhu yang telah dingin atau bukan hasil perubahan alam dari
panas menjadi dingin. Dengan kata lain, kata kǝte tidak bisa digunakan dalam kalimat untuk suatu perubahan suhu.
Begitu pun kata kǝta yang tidak bisa
diucapkan ketika seseorang merasakan suhu dingin di tubuhnya pada saat berada
pada ketinggian tertentu seperti di daerah pegunungan atau di daerah kutub.
Masuknya fonem /e/ dan /a/ melengkapi fonem /k,
e, dan t/ menjadi kǝte dan kǝta menjadi pemicu perbedaan fonologis
dalam kata tersebut. Fonem /e/ diproduksi dengan posisi lidah adalah tengah meninggi-depan-tak bundar
sedangkan fonem /a/ diproduksi dengan posisi lidah adalah bawah merendah-tengah-bundar.
Namun, di sisi lain keduanya memiliki
persamaan. Persamaan tersebut dapat dilihat pada fitur distingtif vokal. Fonem /e/ memiliki fitur distingtif
[+vokalik], [-tinggi],
[-belakang], [-bundar], [-tegang] sedangkan fonem /a/ memiliki fitur
distingtif [+vokalik], [-tinggi], [+belakang], [-bundar], [-tegang]. Jadi,
persamaannya adalah keduanya bukan merupakan vokal tinggi (posisi lidah), tidak
bundar (bentuk mulut saat dituturkan), dan tidak tegang (keadaan urat untuk
mengeluarkan bunyi).
Dalam bahasa-bahasa tertentu kedua bunyi
tersebut dapat disatukan menjadi bunyi /e/ pepet, yakni jika diucapkan bukan
bunyi /a/ dan bukan pula bunyi /e/ tetapi di antaranya. Secara ortografis,
dituliskan dengan lambang [ǝ].
5. Variasi Bunyi /i/ dan /a/
Kata dalam Bahasa Ende yang menyebabkan
munculnya variasi bunyi /i/ dan /a/ adalah sebagai berikut.
(1)
Pirho parho: ...... jilat
Makna: makan tidak
senonoh (urak-urakan), ikut berbicara ketika orang lain sedang berbicara,
kurang ajar.
Contoh: ata ngestei kau ma’e mbi pirho
parho e ko.
Orang bicara kamu jangan terlalu ikut berbicara.
Kalau orang sedang berbicara, kamu
jangan ikut berbicara.
(2) Iza aza: pelita ......
Makna: melihat-lihat, menoleh ke kiri dan kanan,
awas (waspada).
Contoh: Iza aza tau apa pa na na?
Melihat buat apa
di sini ini?
Apa yang kamu lihat di sini?
(3) Tibho
tabho: -- tumpah
Makna: tertumpah
ruah, menumpahkan.
Contoh: mbana morho-morho, jaga ae tibho
tabho mbeja so.
Jalan baik-baik, jaga/awas air tumpah habis nanti.
Jalannya hati-hati, awas airnya tumpah.
(4) rhima
rhama: tangan cepat
Makna: suka
memukul, panjang tangan (suka mencuri).
Contoh: ma’e imu ki, kai rhima rhama
ka re’e.
Jangan teman dia, dia tangan cepat terlalu jelek/buruk
(5) Mio
mao: ...... hantam
Makna:
bersesak–sesakan, berdesak–desakan, menghalang-halangi (jalan, pandangan),
Kelayapan.
Contoh: nukombe na kau mbana mio mao pa’amba?
Tadi malam itu kamu pergi kelayapan dimana?
Semalam/tadi malam kamu kelayapan dimana?
(6) Nimo
namo: -- --
Makna: ikut
campur.
Contoh: ata ngǝstei na, kau ma’e mbi nimo namo sama na.
Orang bicara itu, kamu jangan terlalu ikut campur sama.
Kalau orang sedang berbicara, kamu jangan ikut campur.
(7) Inga
anga: menoleh ....
Makna: melihat
(awas), menoleh ke kiri dan kanan.
Contoh: Kau inga anga tau apa na? wi naka ri’a?
Kamu toleh buat apa itu? Akan curi baik/mungkin?
Kamu lihat apa itu? Mau mencuri, ya?
Dari data di atas, fonem vokal /i/ dan
/a/ adalah pemicu munculnya variasi fonologis. Kedua fonem tersebut merupakan
fonem yang berbeda. Perbedaan keduanya terletak pada proses produksi atau
bagaimana kedua bunyi itu dibuat. Dalam proses produksinya, fonem /i/ merupakan
fonem atas meninggi-depan (muka)-tak
bundar (melebar). Sedangkan fonem /a/ merupakan fonem bawah merendah-tengah (pusat)-bundar.
Akan tetapi, dalam ilmu fonologi
dikenal dengan fitur distingtif atau ciri pembeda atau ciri fonetis yang dapat
menjadi alat ukur perbedaan maupun persamaan antarfonem. Dan, adapun persamaan
dari fonem /i/ dan /a/ dilihat dari fitur distingtifnya adalah sama-sama
bundar, yakni bentuk mulut ketika menghasilkan bunyi tersebut.
Dalam daftar klasifikasi vokoid, fonem
vokal /a/, sesuai dengan posisi lidah, diletakkan pada tiap tempat, baik depan
(muka), tengah (pusat), maupun belakang sejajar dengan fonem vokal lain seperti
/i/, /u/, /e/, dan /o/. Selain itu, dalam produksinya, bentuk bibir untuk
menghasilkan bunyi /a/, selain bulat bisa juga melebar.
Dalam hal vokal, fonem /a/, /i/, dan
/u/ membentuk apa yang dinamakan Sistem Vokal Minimal (Minimal Vocalic System). Dari tiga bunyi tersebut fonem vokal
/a/-lah yang paling mudah diucapkan. Oleh karena sifat kodrati tersebut, fonem
/a/ selalu sejajar atau berdampingan dengan fonem vokal lain.
4.1.2 Variasi Fonologis
pada Fonem Konsonan
Perubahan bunyi yang menyebabkan adanya
variasi fonologis pada fonem konsonan dalam Bahasa Ende, antara lain:
1.
Variasi Bunyi /k/ dan /w/
Variasi bunyi konsonan
/k/ pada kata kǝdhu dan bunyi
konsonan /w/ pada kata wǝdhu
yang memiliki makna yang sama yakni cabut atau mencabut. Kata kǝdhu digunakan dalam kalimat
untuk tindakan mencabut rumput dan pohon yang berukuran kecil yang bisa dicabut
dengan tangan manusia dan tidak membutuhkan tenaga penuh. Sedangkan, kata wǝdhu digunakan dalam kalimat
selain untuk tindakan mencabut sesuatu yang lunak, halus dan tidak membutuhkan
tenaga yang besar juga digunakan untuk tindakan mencabut sesuatu yang keras
secara kasar. Lazimnya digunakan untuk menyebutkan tindakan mencabut rumput,
rambut atau bulu dan diistilahkan untuk umpan yang disuwir ikan pada saat
memancing.
Contoh: (1) Kai kǝdhu mbǝne re rhurhu.
Dia cabut rumput di halaman belakang.
Dia sedang mencabut rumput di halaman
belakang.
(2) Lema
wǝdhu uwa ko’o baba ki re padha.
Lema cabut uban punya bapak dia di
balai-balai.
Lema sedang mencabut uban bapaknya di
balai-balai.
(3) esa
si! pǝni ika wǝdhu pǝka na.
Tarik sudah! Ikan cabut sudah itu.
Tarik! Umpanmu sudah dicabut ikan.
Kata kǝdhu pada kalimat (1) memiliki makna mencabut atau
melakukan tindakan cabut yang dalam kalimat digunakan untuk tindakan mencabut
hanya untuk benda berupa rumput dan sejenisnya. Kata wǝdhu pada kalimat (2) memiliki memiliki makna yang sama
dengan kata kǝdhu, namun
kata wǝdhu tidak bisa
digunakan dalam kalimat untuk tindakan mencabut benda seperti rumput dan
semacamnya akan tetapi digunakan untuk menyatakan tindakan mencabut benda
seperti bulu atau rambut dan semacamnya. Sedangkan, pada kalimat (3) makna kata
cabut atau mencabut yang dalam BE disebut wǝdhu
disamakan dengan makna mencabik-cabik atau menyuwir kecil-kecil karena dalam BE
tidak ada kata untuk menyatakan tindakan mencabik atau menyuwir.
Jika dilihat struktur fonologis pada
dua kata tersebut, bunyi konsonan /k/ dan /w/ merupakan dua fonem yang berbeda,
baik tempat artikulasi maupun proses cara arikulasinya. Fonem /k/ merupakan
fonem dorsovelar-hambat (letup)
sedangkan fonem /w/ merupakan fonem bilabial-semi
vokal. Namun, keduanya memiliki derajat
sonoritas yang sama yakni sama-sama tinggi. Hal ini dikarenakan lebih dekat
dengan nukelus (sifat bunyi yang
kadar fonetiknya didominasi oleh ciri-ciri yang berkaitan dengan vois). Sebagai
contoh, dalam Bahasa Indonesia kita menemukan kata seperti, kwalitas, kwitansi, kwartit, kwasiorkor, dan sebagainya. Persamaan
lainnya dari kedua fonem tersebut dilihat dari fitur distingtifnya yakni
keduanya adalah bukan merupakan fonem straiden
yakni bunyi yang dibuat dengan desahan suara dan bukan fonem kontinuan yakni bunyi yang dibuat dengan
aliran udaranya bisa terus berlanjut. Jadi, bunyi /k/ adalah [-straiden]
[-kontinuan] dan bunyi /w/ adalah [-straiden] [-kontinuan].
2.
Variasi Bunyi /n/ dan /s/
Variasi bunyi konsonan
/n/ pada kata nasi dan bunyi konsonan
/s/ pada kata sasi yang memiliki
makna yang sama yakni garuk atau menggaruk. Dalam kalimat, kata nasi digunakan untuk tindakan menggaruk
bagian tubuh yang terasa gatal. Sedangkan, kata sasi digunakan dalam kalimat untuk tindakan menggaruk bagian tubuh
yang terasa gatal yang sangat berlebihan sehingga menggaruk pun dilakukan
dengan berlebihan sehingga muncul luka pada bagian tubuh yang digaruk.
Contoh: (1) Kau nasi toko rhonggo jao sǝrhama ro.
Kamu garuk tulang punggung saya cepat.
Tolong kamu garuk punggung saya sebentar.
(2) Urhu
kau na ma’e mbi sasi, jaga orho nǝka.
Kepala kamu jangan terlalu garuk, awas lama
luka.
Kepalamu
Jangan terlalu digaruk, nanti luka.
Fonem /s/ dan /n/ merupakan dua fonem
yang sangat berbeda. Dilihat dari proses menghasilkan bunyi bahasa, fonem /n/
merupakan fonem apikoalveolar–nasal,
sedangkan fonem /s/ merupakan fonem laminopalatal–frikatif.
Dalam sumber lain menyatakan bahwa fonem /n/ merupakan fonem dental–nasal yakni ujung lidah menyentuh
pangkal gigi atas dan udara dikeluarkan melalui hidung sedangkan fonem /s/
merupakan fonem dental–frikatif yakni
pertemuan gigi atas dan bawah serta lidah dinaikkan hingga menyentuh
langit-langit keras dan udara dibiarkan keluar melalui celah di antara kedua
gigi yang bertemu.
Dilihat dari fitur distingtif konsonan,
fonem /s/ dan /n/ adalah koronal
(coronal) yakni bunyi yang dibuat di bagian tengah atas mulut. Jadi, fonem /s/
adalah [+koronal] dan fonem /n/ adalah [+koronal].
Dalam BI terdapat gugus konsonan. Salah
satu gugus konsonan yang sering bertemu adalah gugus konsonan /ns/. Gugus
konsonan /ns/ ini lazimnya berada di akhir sebuah kata. Sebagai contoh, dalam
BI kita mengenal ada kata seperti ons,
ambulans, dan mens.
3.
Variasi bunyi /p/ dan /d/
Variasi bunyi konsonan
/p/ pada kata pua dan bunyi konsonan
/d/ pada kata dua yang memiliki makna
yang sama yaitu pukul atau memukul. Kata pua
digunakan dalam kalimat untuk tindakan memukul sesuatu dengan menggunakan benda
keras seperti kayu, balok kayu, bilah bambu. Sedangkan, kata dua digunakan dalam kalimat untuk
tindakan memukul sesuatu dengan selain menggunakan kayu dan bilah bambu juga
dapat digunakan untuk tindakan memukul dengan menggunakan tangan berupa
tamparan.
Contoh: (1) Kalo sodo tarho pǝka na, pua rhimba si.
Kalau jolok tidak bisa sudah, pukul
terus sudah.
Kalau sudah tidak bisa dijolok, dipukul
saja.
(2) Jogha
mbǝraka na, jo dua rhimba si ki.
Nakal terlalu, saya pukul terus dia.
Karena
terlalu nakal, saya pukul saja dia.
Pada kalimat (1), makna kata pua menyatakan tindakan memukul yang
dilakukan saat menjolok buah dan sebagainya. Oleh karena buah dan sebagainya
tersebut yang dijolok tidak terlepas atau terjatuh dalam kondisi tertentu,
pelaku memilih untuk memukul buah atau benda yang dijolokinya. Pada kalimat (2)
makna kata dua yang dijelaskan
tersebut adalah tindakan berupa menghajar, menampar atau memukul dengan
menggunakan tangan ataupun kayu.
Masuknya fonem /p/ dan /d/ melengkapi fonem
/u, dan a/ sama sekali sangat tidak lazim. Secara fonologis, proses
menghasilkan bunyi /p/ dan bunyi /d/ berbeda. Fonen /p/ merupakan fonem bilabial–hambat (letup) – tak bersuara,
sedangkan fonem /d/ merupakan fonem apikoalveolar
– hambat (letup)–bersuara. Namun, jika dilihat dalam fitur distingtif,
keduanya sama-sama merupakan konsonan anterior
yakni bunyi yang dibuat di bagian depan mulut. Jadi, /p/ adalah fonem
[+anterior] dan /d/ adalah fonem [+anterior].
4.
Variasi Bunyi /p/ dan /m/
Variasi bunyi konsonan
/p/ pada kata pizi dan bunyi konsonan
/m/ pada kata mizi yang sama-sama
memiliki makna pilih/memilih, menentukan, mengambil. Kata pizi digunakan dalam kalimat untuk menjelaskan tindakan memilih sesuatu atau menentukan (mengambil dan sebagainya) sesuatu yang dianggap sesuai dengan
kesukaan atau selera, menunjuk (orang, calon, dan sebagainya) dengan memberikan suaranya seperti memilih calon Bupati, Presiden, Anggota DPR dan sebagainya. Kata mizi digunakan dalam kalimat untuk
menjelaskan tindakan memilih, mengambil atau menentukan sesuatu karena telah
merasa kekurangan atau memisahkan sesuatu yang baik dari yang tidak baik.
Misalnya, mengambil sisa beras atau jagung yang baik dari beras atau jagung
yang tidak baik untuk dikonsumsi.
Contoh: (1) –Aki na pirhi ata pawe ne
imu mbe'o.
Suami itu
pilih yang baik dan teman tahu.
Pilihlah
suami yang baik dan pandai berteman.
(2) Ja'o na mirhi rewo ika
tu'u ata numai wǝngi wutu ka.
Saya pilih
sembarang ikan kering kemarin kapan empat.
Saya
ambil ikan kering empat hari yang lalu.
Pada kalimat (1) makna pilih
mengacu pada penentuan pilihan yakni memilih suami sesuai dengan harapan
pemilih. Pada kalimat (2), makna kata pilih
mengacu pada makna memisahkan, mengambil,
atau menentukan sesuatu yang dianggap baik dari yang tidak baik (dalam contoh
ini ikan kering yang masih baik untuk dikonsumsi) dari semua ikan kering yang
ada.
Perbedaan yang terdapat dalam kedua kata di atas yakni munculnya fonem /p/
dan /m/. Namun, Secara fonologis dalam proses penghasilannya, fonem /p/ dan /m/
berasal dari tempat artikulasi yang sama yakni bilabial (bibir atas dan bibir bawah yang saling bertemu). Akan
tetapi, fonem /p/ merupakan fonem hambat–tak
bersuara, sedangkan fonem /m/ merupakan fonem nasal (melalui hidung). Dilihat dalam fitur distingtifnya, keduanya
sama-sama anterior yakni bunyi yang
dibuat di bagian depan mulut. Fonem /p/ dan /m/ adalah sama-sama [+anterior],
[-koronal], [-kontinuan]. Jadi, munculnya /p/ dan /m/ secara bergantian dalam
sebuah kata merupakan peristiwa yang lazim karena lebih banyak memiliki
persamaan dari pada perbedaan pada struktur fonologisnya.
5.
Variasi Bunyi /g/ dan /b/
Variasi bunyi konsonan /g/ pada kata gǝra dan bunyi konsonan /b/ pada kata bǝra yang memiliki makna yang sama yaitu marah, memarahi, atau gusar. Kata gǝra
digunakan dalam kalimat untuk tindakan yang menjelaskan keadaan tidak senang,
berang, gusar, marah atau memarahi atas orang, hewan atau sesuatu yang berbuat
salah atau tidak sesuai keinginan. Misalnya, marah pada anak yang nakal, marah
pada kucing yang mencuri ikan, marah pada benda yang kembali rusak setelah
berkali-kali diperbaiki. Sedangkan, kata bǝra digunakan dalam kalimat untuk tindakan marah yang dilakukan oleh ayam
(betina maupun jantan). Tindakan ini lazimnya dilakukan oleh ayam betina yang
hendak melindungi anaknya yang masih kecil dari gangguan binatang lain maupun
manusia.
Contoh: (1) ine ki gǝra kai iwa mbana
sekola na.
Ibu dia marah
dia tidak pergi sekolah.
Ibunya
marah karena dia tidak pergi ke sekolah.
(2) manu bǝra ki, kai ganggo ana manu na.
Ayam marah
dia, dia ganggu anak ayam.
Ayam
itu memarahi dia karena mengganggu anaknya.
Pada kalimat (1) makna kata marah
mengacu pada tindakan yang menyebabkan kekesalan pada seorang ibu karena sebuah
kesalahan yang dilakukan oleh seorang anak (tidak ke sekolah). Pada kalimat (2)
maknanya mengacu pada tindakan gusar atau marah yang dilakukan oleh ayam betina
pada hewan lain atau manusia yang sengaja mengganggu anaknya yang masih kecil
atau ketika ayam diadu.
Secara fonologis, proses dibuatnya fonem /g/ dan /b/ berbeda. Perbedaannya
terletak pada tempat artikulasi. Fonem /g/ adalah dorsovelar–hambat–bersuara (punggung lidah mendekati velum),
sedangkan fonem /b/ adalah bilabial–hambat–bersuara
(bibir bawah menyentuh bibir atas).
Persamaan dari kedua bunyi tersebut adalah sama-sama vois yakni getarnya pita suara ketika kedua bunyi itu dihasilkan
atau bunyi yang disertai dengan getaran pada pita suara. Dalam fitur distingtif
konsonan, /g/ adalah [+vois] dan /b/ adalah [+vois].
6.
Variasi Bunyi /t/, /p/ dan /m/
Variasi bunyi konsonan /t/ pada kata tǝku dan bunyi konsonan /p/ pada kata pǝku yang memiliki makna yang sama yakni lengkung atau melengkung. Muncul pula
kata mǝku
yang memiliki makna berbentuk melengkung seperti bentuk busur setelah
dilengkungkan atau setelah melakukan tindakan pǝku atau tǝku. Kata mǝku merupakan kata sifat. Kata pǝku digunakan dalam kalimat untuk menjelaskan tindakan melengkungkan benda
berupa kayu atau besi yang berukuran kecil dan panjang sehingga berbentuk
seperti busur atau kedua ujung benda tersebut dapat bertemu. Kata tǝku
digunakan dalam kalimat untuk menjelaskan tindakan melengkungkan sesuatu
sehingga menyerupai busur atau menunduk. Kedua kata ini juga dimaknai atau
diistilahkan untuk seseorang yang kepalanya tertunduk takut karena sedang
dimarahi atau dinasihati atau tertunduk malu.
Contoh: (1) Pǝri na kalo rhewa na pǝku embe ka.
Bambu ini
kalau panjang melengkung hilang sudah.
Kalau sudah
panjang bambu ini akan melengkung.
(2) Uzu ki pǝku rhimba
nggǝna seru na.
Kepalanya
tunduk terus kena marah.
Kepalanya
tertunduk saat dimarahi.
(3) Ndawa na ja'o pati tǝku pǝka nde.
Bilah bambu
ini saya kasih lengkung sudah tadi.
Saya
sudah lengkungkan bilah bambu ini.
(4) Urhu ma'e tǝku kalo ja'o gǝra na.
Kepala jangan
tunduk kalau saya marah itu.
Jangan
menundukkan kepala kalau saya sedang marah.
(5) Ma'e endo, pǝri mǝku embe so.
Jangan ayun,
bambu lengkung hilang nanti
Jangan
diayun, nanti bambu itu melengkung.
Munculnya perbedaan pada ketiga fonem di atas, yakni /t/, /p/ dan /m/ bukan
merupakan suatu kebetulan karena ketiga fonem tersebut memiliki hubungan pada
proses menghasilkan bunyi. Fonem /p/ dan /m/ adalah dua buah fonem yang berasal
dari satu tempat artikulasi yakni bilabial
(dua buah bibir yang saling bertemu). Namun, cara artikulasi keduanya berbeda.
Sedangkan fonem /t/ merupakan fonem yang cara artikulasinya sama dengan fonem
/p/ yakni hambat (letup) namun
perbedaannya terletak pada tempat artikulasi. Fonem /p/ merupakan fonem bilabial yakni fonem yang diproduksi
dengan dua bibir sebagai artikulator sedangkan fonem /t/ merupakan fonem apikodental yakni fonem yang pembentukan bunyinya dengan mendekatkan atau menempelkan ujung atau
daun lidah pada pangkal gigi atas.
Berdasarkan jenis hambatannya, kedua fonem ini merupakan fonem dengan bunyi
stop atau bunyi letup yakni bunyi yang dihasilkan dengan udara terhenti sama sekali
dan dilepaskan dengan tiba-tiba. Juga merupakan bunyi tak bersuara, karena
bunyi yang dihasilkan dengan udara kecil, sehingga pita suara tidak mengalami
getaran besar.
Adapun persamaan dari fonem /t/, /m/, dan /p/ jika dilihat dari fitur
distingtifnya merupakan fonem anterior
(bunyi yang dibuat di bagian depan mulut.
/t/
|
/p/
|
/m/
|
[+konsonantal]
[+anterior]
[-straiden]
[-kontinuan]
|
[+konsonantal]
[+anterior]
[-koronal]
[-straiden]
[-kontinuan]
|
[+konsonantal]
[+anterior]
[-koronal]
[+vois]
[+nasal]
|
Dari fitur distingtif di atas terlihat adanya persamaan dari ketiga fonem tersebut
yang ditandai dengan simbol + (plus) dan – (minus). Menurut para linguis, simbol
– (minus) dalam fitur distingtif bukan menyatakan perbedaan antarfonem
melainkan persamaan.
7.
Variasi Bunyi /s/ dan /t/
Variasi bunyi konsonan /s/ pada kata soke
dan bunyi konsonan /t/ pada kata toke
yang sama-sama memiliki makna tancap. Kata soke
digunakan dalam kalimat untuk tindakan atau pekerjaan menancapkan benda berupa
kayu, pisau, parang, dan tombak. Kata toke
digunakan dalam kalimat untuk menyebutkan atau menjelaskan kayu, pisau, parang,
atau tombak yang telah tertancap di tempat dimana benda tersebut ditancapkan.
Contoh: (1) piso na soke rhimba pa
ndia we.
Pisau itu
tancap terus di sini saja.
Pisau
ditancap di sini saja.
(2) topo na toke rhimba re
pusu ko rongo.
Parang itu tancap terus di jantung punya
kambing.
Parang itu tertancap di jantung kambing.
Pada kalimat (1) makna tancap
digunakan ketika seseorang melakukan kegiatan menancapkan sesuatu, yakni pisau
pada sesuatu yang lain agar pisau tersimpan dengan baik. Sedangkan, pada
kalimat (2) makna tancap dipakai
setelah kegiatan atau tindakan menancapkan sesuatu, dalam kalimat di atas
adalah parang. Kalimat (2) memiliki makna telah tancap.
Munculnya fonem /s/ dan /t/ yang melengkapi fonem /o, k, dan e/ menjadi
/soke/ dan /toke/ memang dirasakan sangat jarang ditemui dalam struktur
fonologis bahasa manapun. Apalagi menjadikan makna dan pemakaian kata atau
morfem yang dimasukinya menjadi sama. Perbedaan ini dapat dilihat pada proses
menghasilkan bunyi tersebut. Fonem /s/ adalah laminopalatal–frikatif sedangkan /t/ adalah apikoalveolar–hambat. Sumber lain menyebutkan fonem /s/ adalah dental–frikatif, sedangkan fonem /t/
adalah dental–plosif.
Namun, keduanya memiliki persamaan dalam fitur distingtif konsonan. Adapun
persamaan kedua fonem tersebut dilihat dari fitur distingtif konsonan, keduanya
sama-sama anterior, yakni bunyi yang
dibuat di bagian depan mulut dan sama-sama koronal,
yakni bunyi yang dibuat di bagian tengah atas mulut. Jadi, /s/ dan /t/ adalah
[+anterior] dan [+koronal].
8.
Variasi Bunyi /t/ dan /k/
Variasi bunyi konsonan /t/ pada kata tiwu
dan bunyi konsonan /k/ pada kata kiwu yang memiliki makna yang sama yakni
kumpul. Kata tiwu digunakan dalam
kalimat untuk menyebutkan sesuatu yang berkumpul dalam satu kelompok atau
menyebutkan kumpulan suatu benda. Misalnya, kumpulan air hujan yang menggenang
atau sekumpulan orang yang berada dalam satu tempat. Sedangkan, kata kiwu digunakan dalam kalimat untuk
menyebutkan tindakan mengumpulkan sesuatu sehingga menjadi satu.
Contoh: (1) miu tiwu pa na tau apa na?
Kalian kumpul
di sini buat/bikin apa itu?
Buat
apa kalian berkumpul di sini?
(2) kiwu si doi na, kita wi mbǝta bako.
Kumpul sudah uang itu, kita akan beli rokok.
Kumpulkan uang, kita akan membeli rokok.
Pada
kalimat (1), kata tiwu digunakan unuk
menyebutkan sebuah tindakan bersama-sama menjadi satu kesatuan atau kelompok
(tidak terpisah-pisah). Sedangkan, pada kalimat (2) kata kiwu digunakan untuk menyatakan tindakan ajakan, yakni mengumpulkan
sesuatu dari yang terpisah atau sedikit menjadi bersatu atau banyak. Kedua kata
tersebut sama-sama digunakan untuk menjelaskan atau menyebutkan sesuatu yang
terpisah menjadi bersatu dalam jumlah yang banyak.
Dilihat
dari bidang fonologis, fonem /t/ dan /k/ yang melengkapi fonem /i, w, dan u/
menjadi tiwu dan kiwu serta memiliki makna kumpul
sesungguhnya merupakan kejadian yang sangat tidak lazim dalam sebuah bahasa.
Fonem /t/ diproduksi pada tempat artikulasi bernama apikoalveolar, yakni ujung lidah berada persis di belakang pangkal
gigi atas dan mengalami hambatan (bunyi letup) pada saat udara keluar dari
paru-paru. Sedangkan, fonem /k/ dihasilkan dari dorsovelar dan mendapatkan hambatan pada belakang lidah beberapa
saat ketika akan keluar dari paru-paru untuk membentuk sebuah bunyi. Keduanya
merupakan fonem tak bersuara.
9.
Variasi Bunyi /p/ dan kluster /mb/
Variasi bunyi konsonan /p/ pada kata pǝra dan kluster /mb/ pada kata mbǝra yang secara gramatikal memiliki makna yang sama yakni padam. Kata pera artinya memadamkan sesuatu yang
menyala (api, lampu, dsb.), sedangkan kata mbǝra artinya sesuatu yang menyala (api, lampu, dsb.) telah padam.
Contoh: (1) pati pǝra si api na!
Kasih padam
sudah api itu!
Padamkan
api itu!
(2) lapu re mbeki mbǝra ka rha’e?
Lampu di kamar padam sudah belum?
Lampu di kamar sudah dipadamkan atau belum?
(3) api mbǝra ka.
Api padam sudah.
Api sudah padam.
(4) ja’o wi mbana pi’a watu re ma’u.
Saya akan pergi pecah batu di pantai.
Saya akan pergi untuk memecahkan batu di
pantai.
(5) bola na mbi’a embe ka(peka)
Bola ini pecah hilang sudah
Bola ini sudah pecah
Kata pǝra
pada kalimat (1) digunakan untuk melakukan tindakan memadamkan api atau sesuatu
yang menyala lainnya. Sedangkan, pada kalimat (2) dan (3) adalah pernyataan
yang menyatakan bahwa sesuatu yang menyala telah padam (dipadamkan). Namun,
kedua kata ini juga dapat digunakan bergantian tanpa perlu melihat tempat dan
keadaan dipakainya kedua kata tersebut. Jadi, kalimat (1), (2) dan (3) bisa
menggunakan kata pǝra maupun mbǝra.
Pada kalimat (4) kata pi’a
digunakan untuk melakukan tindakan berupa memecahkan benda dan sebagainya.
Sedangkan, pada kalimat (5) kata mbi’a
digunakan menyebutkan hasil dari tindakan yang dijelaskan pada kalimat (4).
Jadi, kalimat (4) merupakan tindakan dan kalimat (5) merupakan hasil.
Munculnya perbedaan pada fonem /p/ dan gugus konsonan /mb/ merupakan
perbedaan yang wajar karena diantara ketiga fonem tersebut, yakni /p/, /m/, dan
/b/ adalah fonem yang berasal dari satu sumber yang sama yakni bilabial. Bilabial merupakan sumber
artikulasi yang prosesnya berasal dari dua buah bibir, yakni bibir atas dan
bibir bawah yang saling bertemu dan menghasilkan bunyi hambat (letup) ketika
udara dikeluarkan. Bunyi yang dihasilkan dalam proses ini yakni /b/ dan /p/.
Sedangkan bunyi /m/ adalah bunyi nasal,
yakni bunyi yang udaranya dikelurkan melalui hidung.
10.
Variasi Bunyi /s/ dan /j/
Variasi bunyi konsonan /s/ pada kata siu
dan /j/ pada kata jiu yang sama-sama
memiliki makna yang sama yaitu juling (salah satu cacat mata).
Contoh: (1) ata ine na rhemata ki siu.
Orang ibu itu
mata dia/-nya juling
Ibu
itu matanya juling
(2) ana ata kai dhadhi na rhemata
jiu
Anak yang dia lahir itu mata juling
Anak yang dilahirkannya matanya juling
Pernyataan
yang terdapat dalam kalimat (1) dan (2) memiliki pengertian yang sama yakni
menyatakan keadaan seseorang yang mempunyai cacat mata yang disebut sebagai
juling. Kata siu maupun jiu dalam kedua kalimat di atas dapat
ditukar tanpa merubah makna sebenarnya karena keduanya memiliki makna yang sama
dan dapat dipahami dalam konteks percakapan.
Dalam
bidang fonologis, kedua kata di atas memiliki perbedaan, yakni masuknya fonem
/s/ dan /j/ melengkapi morfem [iu] yang menyebabkan kata siu dan jiu memiliki
makna yang sama. Perbedaannya terjadi pada cara artikulasi fonem tersebut.
Fonem /s/ merupakan fonem laminopalatal-frikatif
(geseran) sedangkan fonem /j/ merupakan fonem laminopalatal-afrikat (paduan). Keduanya berasal dari tempat
arikulasi yang sama yakni laminopalatal.
Laminopalatal adalah bunyi yang dihasilkan dengan
menempatkan bagian depan lidah di dekat atau pada langit-langit keras. Keduanya
memiliki kesamaan pada fitur distingtif yakni merupakan fonem straiden dan koronal. Straiden adalah bunyi
yang dibuat dengan iringan desahan suara sedangkan koronal adalah bunyi dibuat di bagian tengah atas mulut.
4.1.3 Variasi Fonologis
pada Proses Morfofonemik
Variasi fonologis yang muncul pada proses
morfofonemik, antara lain:
4.1.3.1 Variasi Akibat Perubahan
Fonem
a.
Variasi
perubahan fonem /a/ pada prefiks pa- dan fonem /e/ pada prefiks pe-
Data yang ditemukan antara lain:
1. Menyatakan saling
-
Pa + rore: bunuh : saling membunuh
Pe + rore: bunuh :
saling membunuh
Ari ne ka’e
perore dhato
Adik dan kakak saling bunuh mendekat
Adik dan kakak saling membunuh
-
Pa + sengga: saling tikam, saling membunuh
Pe + sǝngga:
saling tikam, saling membunuh
Abe na mata pesǝngga
Mereka itu mati
saling membunuh
Mereka mati karena saling membunuh
-
Pa + bheo: protes : saling protes
Pe + bheo: protes : saling protes
Abe pebheo tana
Mereka saling protes tanah
Mereka saling protes tentang masalah
tanah
2. Menyatakan penunjukan (preposisi 'di')
-
Pa + nore: di sana
Pe + nore: di sana
Kai penore
Dia di sana
-
Pa + sena: di situ/ke situ
Pe + sena: di situ/ke
situ
Ja'o pesena nde kai iwa rhatu
Saya di situ tadi dia
tidak ada
Tadi saya disitu tapi dia tidak ada
-
Pa + ndia
Pe + ndia: sini :
di sini/ke sini
Kau mai pandia we
Kau/kamu datang ke sini saja
Kamu kesini saja
b.
Variasi
perubahan fonem /a/ pada prefiks sa- dan fonem /e/ pada prefiks se-
Data yang ditemukan antara lain:
1.
Menyatakan
intensitas (tingkatan)
-
Sa + dhiki
Sedhiki: kecil : sedikit
Ja'o ngarha doi sedhiki
we'e
Saya
dapat uang sedikit
saja
Saya dapat uang hanya sedikit
-
Sa + woso: banyak; sangat/lebih banyak
Se + woso: banyak;
sangat/lebih banyak
Baba jo ngarha ika sewoso
Bapak saya dapat ikan sangat banyak
Bapak saya mendapatkan ikan yang sangat
banyak
-
Sa + mere: besar; sangat/lebih besar
Se + mere: besar;
sangat/lebih besar
Kai ngarha tana semere
ma (mema)
Dia dapat tanah sangat besar memang
Dia dapat tanah yang sangat besar
(luas)
2.
Menyatakan
waktu
-
Sa + rhera: hari, siang : dahulu
Se + rhera: hari, siang : dahulu
Kami mera pa na kere
serhera ka
Kami tinggal di sini sejak
dahulu sudah
Kami tinggal di sini sudah sejak dahulu
3.
Menyatakan
jumlah
-
Sa + kǝnggu: genggam; segenggam
Se + kǝnggu: genggam;
segenggam
Ja'o kema onda ngarha are sekǝnggu
Saya bekerja hanya mendapatkan
segenggam beras
-
Sa + uju
Se + uju: ikat :
seikat
Dede mbeta kaju seuju
Dede
beli kayu seikat
Dede membeli seikat kayu
-
Sa + esa: buah : sebuah, sebiji
Se + esa: buah :
sebuah, sebiji
Andi mbeta bola seesa
Andi
beli bola sebuah
Andi membeli sebuah bola
Masuknya fonem /e/ dan /a/ melengkapi fonem /k,
e, dan t/ menjadi kǝte dan kǝta menjadi pemicu perbedaan fonologis
dalam kata tersebut. Fonem /e/ diproduksi dengan posisi lidah adalah tengah meninggi-depan-tak bundar
sedangkan fonem /a/ diproduksi dengan posisi lidah adalah bawah merendah-tengah-bundar.
Namun, di sisi lain keduanya memiliki
persamaan. Persamaan tersebut dapat dilihat pada fitur distingtif vokal. Fonem /e/ memiliki fitur
distingtif [+vokalik], [-tinggi],
[-belakang], [-bundar], [-tegang] sedangkan fonem /a/ memiliki fitur
distingtif [+vokalik], [-tinggi], [+belakang], [-bundar], [-tegang]. Jadi,
persamaannya adalah keduanya bukan merupakan vokal tinggi (posisi lidah), tidak
bundar (bentuk mulut saat dituturkan), dan tidak tegang (keadaan urat untuk
mengeluarkan bunyi).
Dalam bahasa-bahasa tertentu kedua bunyi tersebut
dapat disatukan menjadi bunyi /e/ pepet, yakni jika diucapkan bukan bunyi /a/
dan bukan pula bunyi /e/ tetapi di antaranya. Secara ortografis, dituliskan
dengan lambang [ǝ].
4.1.3.2 Variasi Akibat Pelesapan
Bunyi Deret Vokal
Variasi pelesapan fonem dalam BE bukan
terjadi pada proses morfofonemik melainkan pada kata dasar yang ber-Deret Vokal.
Adapun kata dalam BE yang mengalami pelesapan fonem adalah sebagai berikut:
a.
Variasi
Pelesapan Bunyi Deret Vokal pada kata ganti
Kata ganti dalam Bahasa Ende yang
mengalami pelesapan fonem adalah perubahan kata ganti orang (pronomina persona)
menjadi kata ganti milik (pronomina posesif). Pelesapan ini hanya terjadi
ketika kata ganti milik tersebut berada di depan kata atau kalimat. Secara
ortografis, tidak diketahui secara jelas dan pasti penulisannya, baik digabung
atau pun tidak seperti halnya pada Bahasa Indonesia, yakni yang terjadi pada
kata aku menjadi ku pada kalimat buku aku
menjadi bukuku dan kamu menjadi mu pada kata buku kamu
menjadi bukumu.
Contoh:
1. Deret Vokal /a-o/ dan /o/
-
jao dan jo
: saya, aku
contoh: na baba
jao = na baba jo
ini bapak saya
ini bapakku
2. Deret Vokal /a-u/ dan /u/
-
kau dan ku
: kau, kamu
contoh: emba rhambu
kau? = emba rhambu ku?
mana baju kamu?
mana bajumu?
3. Deret Vokal /i-u/ dan /u/
-
miu dan mu
: kalian
contoh: emba serhake
miu? = emba serhake mu?
mana celana
kalian?
4. Deret Vokal /a-i/ dan /i/
-
kai dan ki
: dia
contoh: nasa kai re kos = nasa ki re kos
pacar dia di kos.
pacarnya di kos.
b.
Variasi
Pelesapan Bunyi Deret Vokal pada kata keterangan
1. Deret Vokal /a-i/ dan /i/
-
mbai dan mbi
: terlalu
contoh:
rike ma’e mbai negi = rike ma'e mbi negi.
Ikat jangan terlalu kuat
-
wai dan wi
: akan
contoh:
kami wai mbana re lo = kami wi mbana re lo.
Kami akan pergi ke pasar.
-
sai dan si
: sudah; -lah
contoh:
kema sai!
= Kema si!
Kerja sudah!
Kerjakanlah!
Pelesapan yang terjadi dalam Bahasa
Ende tidak serta merta menghilangkan kata utuhnya. Kata utuh maupun kata yang
mengalami pelesapan dapat digunakan kapanpun dalam kalimat secara bergantian
dengan tidak mengubah makna kata atau kalimat yang dimasukinya.
Dari deret vokal pada data di atas,
terlihat bahwa fonem yang berada di depanlah yang muncul dan berubah sebagai
kata baru tetapi dengan makna dan penggunaan yang tetap sama.
Berterimanya fonem yang berada di depan
fonem sebelumnya sebagai kata baru karena waktu antara lepasnya udara untuk
mengucapkan konsonan dengan getaran pita suara untuk bunyi vokal yang
mengikutinya lebih singkat atau cepat dibanding fonem di depannya. Artinya,
ketika fonem belakang diucapkan dan akan
mengambil fonem berikutnya, dengan waktu yang singkat fonem yang berada di
depan pun diucapkan. Kata miu misalnya.
Waktu untuk mengucapkan fonem /i/ lebih singkat daripada fonem /u/. Begitu pula
yang terjadi pada kata-kata yang tertera pada data di atas.
4.2 Faktor-faktor Penyebab Variasi Fonologis
Variasi fonologis dalam Bahasa Ende terjadi sebagai akibat dari perubahan
bunyi pada kata atau morfem. Perubahan bunyi ini terjadi pada fonem vokal dan
konsonan yang menempati kata atau morfem dengan tidak mengubah makna kata.
Beberapa kata yang mengalami proses perubahan bunyi mengalami perbedaan pada
penggunaan kata tersebut dalam kalimat sedangkan beberapa yang lainnya tetap
pada makna dan penggunaan yang sama dalam kalimat. Bahkan ketika kata tersebut
ditukargantikan posisinya dalam kalimat.
Namun demikian, fonem-fonem, baik vokal maupun konsonan yang mengalami
perubahan tersebut jika dilihat dari struktur fonologisnya memiliki perbedaan,
baik tempat artikulasi maupun cara artikulasinya. Misalnya, perubahan bunyi /g/
yang terjadi pada kata gera menjadi
bunyi /b/ pada kata bera yang dimana
keduanya memiliki makna yang sama yakni marah
namun kedua fonem tersebut berasal dari tempat dan cara arikulasi yang berbeda.
Akan tetapi, jika ditilik lebih jauh dalam kajian fonologi, maka perbedaan
tersebut dapat ditransparansi seperti menggunakan daftar klasifikasi vokoid dan
kontoid maupun fitur distingtif fonem.
Munculnya perubahan bunyi yang menyebabkan variasi fonologis dalam
sebuah kata tentunya disebabkan oleh faktor-faktor tertentu. Beberapa di antara
perubahan bunyi dalam Bahasa Ende ini dirasakan tidak sesuai dengan struktur
fonologis apalagi kata yang mengalami perubahan bunyi tersebut tidak mengalami
perubahan makna kata.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan munculnya variasi fonologis ini
dapat dikaji secara internal maupun eksternal. Secara internal, bunyi-bunyi
dalam sebuah bahasa sebetulnya memiliki beberapa kesamaan. Kesamaan-kesamaan
ini tidak selamanya dilihat dari bagaimana bunyi itu dibuat namun dapat juga
dilihat dari faktor-faktor lain yang lebih dalam seperti fitur distingtif vokal
dan konsonan serta daftar klasifikasi vokoid maupun kontoid. Sebuah fonem vokal
dapat memiliki fitur distingtif yakni vokalik, tinggi, belakang, bundar, dan
tegang. Sedangkan, sebuah konsonan dapat memiliki fitur distingtif yaitu
konsonantal, anterior, koronal, vois, nasal, straiden, dan kontinuan. Perbedaan
di antara fonem berdasarkan fitur distingtif ini dapat dilihat dari segi
oposisi yang sifatnya biner, sesuatu itu ya
atau tidak. Dalam ilmu fonologi
ditandai dengan simbol + dan -.
Bahasa-bahasa di dunia memiliki sistem pengaturan fonem atau biasa
disebut fonotaktik yang berbeda.
Dengan adanya sistem tersebut memungkinkan fonem-fonem yang terdapat dalam
sebuah bahasa dapat diatur secara manasuka (arbitrer) dan dapat disetujui oleh
masyarakat penutur (konvensional). Oleh karena itulah, meskipun terdapat dua
atau lebih fonem yang berbeda cirinya dalam sebuah kata, tetap dapat diterima
oleh masyarakat penutur tanpa harus mempertimbangkan kesamaan ciri atau
pasangan minimum fonem tersebut.
Secara eksternal, faktor yang menyebabkan munculnya variasi fonologis
dalam penelitian ini adalah kehidupan masyarakat Desa Borokanda yang heterogen.
Hal ini dilihat dari munculnya penduduk yang berasal dari luar daerah dan
menetap di desa tersebut. Misalnya, masyarakat yang berasal dari Bajawa, Kabupaten
Ngada (Nio I) yang hidup sejak jaman
penjajahan Belanda. Masyarakat ini memiliki bahasa yang hampir sama, namun
memiliki dialek dan aksen yang berbeda dari masyarakat Ende. Hal tersebut yang
menyebabkan munculnya kata rhasu
dalam BE di Desa Borokanda yang oleh masyarakat Bajawa menyebut sebagai lasu.
Selain masyarakat yang berada dari luar Kabupaten Ende, ada pula
masyarakat yang berasal dari luar desa seperti Nangapanda, Pulau Ende, Wolowaru
(Lio). Selain itu, juga ada kata-kata dalam BE yang telah jarang digunakan
dalam kalimat seperti kata wedhu
yang maknanya cabut atau mencabut yang dirasakan terlalu kasar
dari pada kata wedha yang
memiliki makna yang sama yaitu cabut
atau mencabut. Menurut informan
dalam penelitian ini, kata wedhu
dapat bermakna pada sindiran, ejekan, dan bahkan makian halus. Juga, kata wedhu ini, menurut informan,
sebetulnya dipakai oleh penutur BE yang mendiami wilayah Kecamatan Nangapanda.
Namun, oleh karena adanya peristiwa kawin mawin dan sebagainya, apalagi BE
merupakan bahasa yang hanya memiliki satu dialek saja dalam wilayah geografis
dialek. Artinya, dapat digunakan oleh siapa saja tanpa memandang status sosial
maupun usia penutur.