Contoh Feature - Sang Khatib, Teladan Bagi Umat


Ustadz Muhammad Saleh Umar, begitulah nama lengkapnya, telah duduk di shaf depan, tepat ditengah antara Imam, Ta’mir masjid, dan orang-orang yang bertopi putih yang dari tadi khusyuk berdzikir dan berdo’a dalam hati. Sebentar lagi dia akan naik dan berdiri di atas mimbar untuk memulai khotbah Jum’adnya. Suasana di dalam masjid pun hening. Hanya saja, di sisi kanan masjid terdengar raungan knalpot mobil dan motor yang melintasi jalan raya tanpa memedulikan plang yang ditaruh di sisi jalan dan keadaan sekitar. Terdengar pula kerasnya auman penyanyi dari pintu angkutan kota yang diputar di kaset CD karena sopir memutarnya dengan volume seperti singa yang kelaparan. Namun, semakin ke barat auman itu pun menghilang ditelan kesunyian hari jumad jam dua belas siang. Ustadz yang biasa dipanggil Saleh itu pun naik mimbar ketika Ta’mir masjid mengucapkan “Allahummashalli ala sayyidina muhammad wa’ala alihi sayyidina muhammad” di depan Mihrab. Dengan segera, setelah berada di atas mimbar, dengan penuh wibawa, beliau pun mengucapkan ucapan keselamatan dan kesejahteraan untuk umat Muslim, “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”. Dan dengan serentak makmum yang sedari tadi khusyuk berdzikir membalas salamnya, “Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh”. Seketika itu pula orang-orang yang mengerti, melepaskan Al-qur’an dari kedua telapak tangannya agar mendengar khutbah dengan seksama.
Seperti biasa dalam tata cara berkhotbah, setelah mengucapkan salam pembuka, beliau duduk beberapa menit di kursi khatib untuk melihat dan menyiapkan secarik kertas berisi ringkasan khutbah yang telah ditulisnya sejak tadi malam. Ta’mir yang bertugas sebagai pembawa khatib tadi pun dengan mengikuti tata cara shalat jumad segera melakukan tugasnya kembali yakni Adzan sebagai tanda kahtib akan memulai berkhutbah. Setelah kalimat “Laailaahaillallah” dikumandangkan, Ta’mir pun kembali duduk di tempatnya dan dengan segera pula khatib meninggalkan kursinya untuk beberapa menit ke depan, berdiri dihadapan umat yang telah menunggu isi khutbahnya.
Lelaki yang pernah menjadi guru itu pun memulai khotbahnya. Sesekali tangannya melambai, mengepal, mengatup di dada atau diacungkan ke atas dalam sikap menengadah. Kalimat-kalimat yang diucapkannya membahana, menggetarkan dan menggoyahkan hati semua umat yang mendengarnya. Mimik wajahnya, bahasa tubuh yang diperlihatkannya, memberikan pemahaman kepada pendengar bahwa jika sedetik saja melanggar atau melupakan atas apa yang telah diperintahkan oleh Yang Maha Kuasa, maka manusia akan menyesal dalam hidupnya. Setiap ayat Al-qur’an yang dilantunkannya menyayat hati setiap umat yang mendengarnya. Suaranya menggema melalui speaker bermerk Toa yang ditempatkan di atas menara masjid setinggi kurang lebih tiga setengah meter dan membuat orang yang hari itu digoda oleh setan untuk tidak ke masjid merasa terpukul dan teriris hatinya. Mungkin juga setan akan lari terbirit-birit ketika mendengar lantunan ayat suci Al-qur’an. Jika sebelum berkhutbah kendaraan-kendaraan yang melintasi jalan raya di sisi kanan masjid meraung tanpa ampun, kini penggendara-pengendara itu memelankan kendaraannya tanda mereka telah belajar dan mengerti ilmu toleransi dalam mata pelajaran Pendidikan Moral dan Pancasila.
Dengan persiapan yang matang sebelum berkhutbah, apalagi beliau pernah menjadi seorang pendidik, membuatnya sangat berwibawa dalam menyampaikan khutbahnya dan sekaligus menandakan bahwa dirinya adalah sebuah panutan dan teladan bagi masyarakat. Kesantunannya dalam menyampaikan pesan agama, menandakan bahwa ia adalah sosok lelaki yang bertanggung jawab terhadap apa yang dikerjakan maupun apa yang diucapkannya. Dalam khutbahnya, beliau selalu menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan terkadang juga menggunakan dialek dan bahasa daerah Ende agar setiap kalimat atau arti dari ayat suci Al-qur’an bisa dengan mudah dipahami oleh umat yang mendengarnya.
Ngga’e si’i peka kita semba ne’e ono ozo muri  re kai we’e, ndia kita na mbana ono rewo mozo reka ata mbe’o. Na ngara ki ngere bid’ah. Na na sama we’e kita iwa percaya kai sebagai Ngga’e kita”. Inilah salah satu kalimat dalam bahasa Ende yang diucapkannya ketika membawakan khutbah tentang Iman kepada Allah. Beliau selalu memperhatikan pilihan kata serta nada yang berimbang agar umat yang mendengarnya dapat memahaminya. Sesekali pula, bapak lima anak ini memberikan contoh dengan bahasa yang membuat orang-orang tersenyum. Terkadang pula ia sedikit menaikkan nada bicaranya agar orang yang tertidur dan malas mendengarkan khutbahnya kaget dan terbangun. Inilah yang selalu dilakukannya saat beliau ditugaskan sebagai khatib.
Di akhir khutbahnya, pria yang biasa disapa dengan panggilan Os itu biasanya menyampaikan pesan-pesan yang dibacanya dalam Al-qur’an maupun Hadits Nabi kepada umat dengan tujuan agar dapat diikuti dan diaplikasikan dalam kehidupannya serta bermanfaat bagi hidupnya sendiri maupun bagi kehidupan orang lain.
Dan khutbah sekitar dua puluh menit itu pun berakhir. Kini Ta’mir masjid kembali melaksanakan tugasnya yakni melafalkan Iqamah sebagai tanda bahwa shalat akan segera dimulai. Imam segera menuju Mihrab dan segera memimpin shalat serta para makmum merapikan Shaf (barisan) sehingga shalat menjadi Khusyuk dan khidmat.