Judul
Novel : Sang Pemimpi
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang (Anggota IKAPI-PT Bentang
Pustaka)
Jml.
Halaman : 288 halaman
Jml.
Paragraf : 1.067 paragraf
Cetakan
ke : xx, Mei 2008 – xxi, September
2008
Novel
sang pemimpi merupakan novel kedua dari tetralogi Laskar Pelangi. Novel ini
adalah sebuah lantunan kisah kehidupan yang memesona dan akan membuat kita
percaya pada tenaga cinta, yakin pada kekuatan mimpi dan pengorbanan. Lebih
dari itu, akan membuat anda percaya kepada Tuhan. Penulis akan membawa kita
berkelana menerobos sudut-sudut pemikiran dimana kita akan menemukan pandangan
yang berbeda tentang nasib, tantangan intelektualitas, dan kegembiraan yang
meluap-luap, sekaligus kesedihan yang mengharu biru.
“Kita tak ‘kan pernah mendahului nasib”
“Tanpa mimpi dan semangat, orang seperti
kita akan mati”
1.
Id
(Das Es) : Aspek Biologis
Mozaik
1:
Lebih tak masuk akan lagi karena
aku tahu di balik para-para itu berdiri rumah turunan prajurit Hupo, Tionghoa tulen yang menjadi paranoid karena riwayat perang saudara.
(Paragraf 12; Halaman 3)
Mozaik
2:
Wajah
Arai laksana patung muka yang dibuat mahasiswa baru seni kriya yang baru
pertama kali menjamah tanah liat, pencet sana, melendung sini. (Paragraf 102; Halaman 24)
Mozaik
3:
Karena
berkepribadian terbuka, memiliki mentalitas selalu ingin tahu dan terus
bertanya, Arai berkembang menjadi anak yang pintar. Ia selalu ingin mencoba
sesuatu yang baru. (Paragraf 126; Halaman
34)
Mozaik
4:
Saat
itulah seorang wanita gemuk berjilbab yang matanya bengkak memasuki pekarangan.
(Paragraf 144; Halaman 38)
Mozaik
5:
Namanya
kondang sampai ke Tanjong Pandan. Bagaimana tidak, ia mampu menyembuhkan sakit
gigi tanpa menyentuh gigi busuk itu. Bahkan tanpa melihatnya. (Paragraf 245; Halaman 56)
Mozaik
6:
Pada
saat itulah PN Timah Belitong, perusahaan di mana sebagian besar orang Melayu
menggantungkan periuk belanganya, termasuk ayahku, terancam kolaps. (275;67)
Mozaik
7:
Oruzgan
yang seusia dengan aku, Arai, dan Jimbron-baru 17 tahun-ternyata pemimpin
pasukan elite Mujahiddin. (326;84)
Mozaik
8:
Aku
belajar bahwa pria pendiam sesungguhnya memiliki rasa kasih sayang yang jauh
berlebih dibanding pria sok ngatur yang merepe saja mulutnya. (330;87)
Mozaik
9:
Tanpa
kusadari film inilah sesungguhnya cetak biru film Indonesia. para produser film
tak tertarik untuk memproduksi film berbobot yang misalnya merekonstruksi
sejarah. (412;108)
Mozaik
10:
Lapangan
sekolah kami riuh rendah oleh suara ratusan yang manusia menyaksikan hiburan
kocak paling spektakuler. Tak pernah SMA Bukan Main semeriah ini. (492;124)
Mozaik
11:
Diperlukan
intelegensia yang tinggi untuk memahami bahwa buah nangka matang yang menggelembung
sebesar tong, dengan tangkainya yang sudah rapuh, dapat sewaktu-waktu jatuh
berdebam hanya karena dihinggapi kupu-kupu. Intelegensia Jimbron tak sampai ke
sana. (495;128)
Mozaik
12:
Kini
aku telah menjadi pribadi yang pesimistis. Malas belajar. Berangkat dan pulang
sekolah lariku tak lagi deras. Hawa positif dalam tubuhku menguap dibawa
hasutan-hasutan pragmatis. (559;144)
Mozaik
13:
Jika
ada korban petir yang tak langsung tewas, dukun Melayu, dalam hal ini dukun
langit, segera menyalakan api di bawah
tungku yang panjang. Di tungku itu dijejer daun-daun kelapa yang masih hijau
lengkap dengan pelepahnya. Dan di atas daun kelapa itulah sang korban
dipanggang, di-barbeque. Maksudnya untuk mengusir dedemit listrk dari dalam
tubuhnya. Percaya atau tidak, cara ini sering sukses. (618;158)
Mozaik
14:
Ia
merahasiakan semuanya karena mengerti perkara kuda sangat sensitif bagi
Jimbron, di samping ia ingin memberikan kejutan pada sahabat tambunnya itu,
sebuah kejutan yang manis tak terperi. Itulah Arai, dulu pernah kukatakan
padamu, Kawan: Arai adalah seniman kehidupan sehari-hari. (709;184)
2.
Ego
(Das Ich) : Aspek Psikologis
Mozaik
1:
Dan di sini, di sudut dermaga
ini, dalam sebuah ruangan yang asing, aku terkurung, terperangkap, mati kutu. (1;1)
Aku gugup. Jantungku berayun-ayun
seumpama punchbag yang dihantam
beruntun seorang petinju. (2;2)
Mozaik
2:
Tampak
jelas wajah cemasnya menjadi lega ketika melihat kami. (105;25)
Mozaik
3:
Aku
gugup bukan main saat pertama kali keluar kamar dengan gaya rambut Toni
Koeswoyo itu. (128;34)
Mozaik
4:
Kesusahan
seakan tercetak di keningnya. Lahir untuk
susah, demikian stempelnya. (148;38)
Mozaik
5:
Ia
kalut, tak sanggup menjelaskan situasinya pada orang-orang. Lagi pula sudah
terlambat. Beberapa menit di Puskesmas ayahnya meninggal. Sejak itu Jimbron
gagap. (259;61)
Mozaik
6:
Persoalannya,
lebih sadis dari ancaman reptil cretaceous
itu, yaitu berbulan-bulan tak digaji. (278;69)
Mozaik
7:
Kami
juga tak sadar bahwa hari itu langit telah mengisap teriakan ikan duyung sang Capo seperti langit mengisap teriakan Arai yang melantunkan amin
secara kurang ajar untuk membalas Taikong Hamim. (328;84)
Mozaik
8:
Semua
orangtua murid dikumpulkan di aula dengan nomor kursi besar-besar, sesuai
rangking anaknya. Nomor itu dicantumkan dalam undangan. Bukan Pak Mustar
namanya kalau tidak keras seperti itu. Maka pembagian rapor adalah cara yang
dapat membanggakan bagi sebagian orangtua sekaligus memalukan bagi sebagian
lainnya. (344;91)
Mozaik
9:
Sebelum
meninggalkan kami, di pintu bioskop Pak Mustar masih sempat melontarkan ancaman
dengan dingin. Ancaman yang membuat kami tidak bisa tidur dua malam berikutnya,
“Ingin tahu seperti apa neraka dunia? Lihat saja di sekolah hari senin pagi,
Berandal!!” (436;114)
Mozaik
10:
Mengerikan.
Sungguh aku tak sanggup melakukannya. Benar-benar memalukan. Aku demam
panggung. Tapi bagaimanapun kami merasa ini lebih baik daripada dikeluarkan
dari sekolah. (462;120)
Mozaik
11:
Bibirnya
bergetar, wajahnya pucat dan sembap. Air mata menepi di pelupuknya. Napasnya
cepat. Dia sangat terkejut, dia sangat tersinggung. (530;134)
Mozaik
12:
Tak
sepicing pun aku tidur. Aku terpuruk dalam sekali. Tak pernah aku mengalami
malam yang tak kunjung berakhir seperti ini. Dalam situasi moral yang paling renda, kenangan lama yang pedih
seakan hidup kembali, menyerbuku tanpa ampun. (594;150)
Mozaik
13:
Tubuh
Jimbron mendadak sontak menjadi kayu. Mirip orang disambar petir. Tangan
menggantung persis dirigen, atau seperti robot kehabisan baterai. Ia menoleh padaku
tapi tubuhnya tak berbalik, hanya lehernya yang berputar dengan ukuran derajat
yang tak masuk akal. Hampir seratus delapan puluh derajat! Ia seperti burung
hantu. (623;159)
3.
Super
ego (Das Ueber Ich) : Aspek Sosiologis
Mozaik
1:
“Bijaksana kalau kau sumbangkan
jam dindingmu ke kantor pemerintah, agar
abdi negara di sana tak bertamasya ke warung kopi waktu jam dinas! Bagaimana
pendapatmu?” (26;7)
Mozaik
2: -
Mozaik
3:
Dan
seperti kebanyakan anak-anak Melayu miskin di kampung kami yang rata-rata
beranjak remaja mulai bekerja mencari uang, Arai-lah yang mengajariku mencari
akar banar untuk dijual kepada penjual ikan. (123;32)
Mozaik
4:
Lalu
aku tertegun mendengar rencana Arai: dengan bahan-bahan itu dimintanya Mak Cik
membuat kue dan kami yang akan menjualnya. (234;51)
Mozaik
5:
Kepemimpinan
berdasarkan perintah alam itu berakhir sampai orang-orang Pasai membawa Islam
ke suku-suku Melayu pedalaman. (254;58)
Mozaik
6:
“Jelajahi
kemegahan Eropa sampai ke Afrika yang eksotis. Temukan berliannya budaya sampai
ke Prancis. Langkahkan kakimu di atas altar suci almamater terhebat tiada tara:
Sorbone. Ikuti jejak-jejak Sastre, Louis Pasteur, Montesquieu, Voltaire.
Disanalah orang belajar science,
sastra, dan seni hingga mengubah peradaban....” (288;73)
Mozaik
7:
Di
televisi balai desa kami menyimak ulasan Ibu Toeti Adhitama tentang sepak
terjang seorang patriot muda Mujahiddin yang baru saja menumbangkan komandan
resimen utara Tentara Merah Rusia. (325;83)
Mozaik
8:
Metode
Pak Mustar memang keras, tapi efektif. Anak-anak yang dimaki bapaknya itu
biasanya belajar jungkir balik dalam rangka memperkecil nomor kursinya. Mereka
sadar bahwa muka bapaknya dipertaruhkan langsung di depan majelis. (350;92)
Mozaik
9:
Kawan,
tadi sudah kubilang: kelenjar testosteron adalah akar segala kejahatan. Dan
simaklah betapa mengerikannya modus kriminal yang dimotivasi kelenjar itu.
Karena dengan modus itu berarti kami harus sembunyi paling tidak 20 jam di
dalam bioskop yang gelap. (393;102)
Mozaik
10:
Orang-orang
baik itu telah terjebak dalam lingkaran maksiat industri film nasional dan
mendapati kami, para siswa, termanipulasi di dalamnya, membuat mereka jijik
dengan profesinya. (436;115)
Mozaik
11:
“Lihatlah,
apa yang kita dapat dari pembicaraan tentang kuda? Pertengkaran yang buruk
inilah yang kita dapat, Kawanku...,” Kuusahakan gaya bicaraku sebijaksana
mungkin, seperti penyuluh KUA menasihati orang yang ingin talak tiga. (536;135)
Mozaik
12:
Beliau
menghampiri kami dan tersenyum. Senyum itu adalah senyum kebanggan khas beliau
yang tak sedikit pun luntur, persis seperti dulu ketika aku masih di garda
depan. (599;152)
Mozaik
13:
“Lihat kami. Orang Kek. Kami hidup dengan jiwa
perantau. Aku sudah punya bioskop tapi setiap malam masih menghadapi lilin
untuk membungkus kacang. Kalian orang Melayu mana mau begitu.” (618;157)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar