Kamis, 01 Desember 2011

ANALISIS ID, EGO, DAN SUPER EGO


Judul Novel     : Sang Pemimpi
Penulis             : Andrea Hirata
Penerbit           : Bentang (Anggota IKAPI-PT Bentang Pustaka)
Jml. Halaman  : 288 halaman
Jml. Paragraf   : 1.067 paragraf
Cetakan ke      : xx, Mei 2008 – xxi, September 2008

Novel sang pemimpi merupakan novel kedua dari tetralogi Laskar Pelangi. Novel ini adalah sebuah lantunan kisah kehidupan yang memesona dan akan membuat kita percaya pada tenaga cinta, yakin pada kekuatan mimpi dan pengorbanan. Lebih dari itu, akan membuat anda percaya kepada Tuhan. Penulis akan membawa kita berkelana menerobos sudut-sudut pemikiran dimana kita akan menemukan pandangan yang berbeda tentang nasib, tantangan intelektualitas, dan kegembiraan yang meluap-luap, sekaligus kesedihan yang mengharu biru.
“Kita tak ‘kan pernah mendahului nasib”
“Tanpa mimpi dan semangat, orang seperti kita akan mati”

1.      Id (Das Es) : Aspek Biologis
Mozaik 1:
Lebih tak masuk akan lagi karena aku tahu di balik para-para itu berdiri rumah turunan prajurit Hupo, Tionghoa tulen yang menjadi paranoid karena riwayat perang saudara. (Paragraf 12; Halaman 3)
Mozaik 2:
Wajah Arai laksana patung muka yang dibuat mahasiswa baru seni kriya yang baru pertama kali menjamah tanah liat, pencet sana, melendung sini. (Paragraf 102; Halaman 24)
Mozaik 3:
Karena berkepribadian terbuka, memiliki mentalitas selalu ingin tahu dan terus bertanya, Arai berkembang menjadi anak yang pintar. Ia selalu ingin mencoba sesuatu yang baru. (Paragraf 126; Halaman 34)
Mozaik 4:
Saat itulah seorang wanita gemuk berjilbab yang matanya bengkak memasuki pekarangan. (Paragraf 144; Halaman 38)
Mozaik 5:
Namanya kondang sampai ke Tanjong Pandan. Bagaimana tidak, ia mampu menyembuhkan sakit gigi tanpa menyentuh gigi busuk itu. Bahkan tanpa melihatnya. (Paragraf 245; Halaman 56)
Mozaik 6:
Pada saat itulah PN Timah Belitong, perusahaan di mana sebagian besar orang Melayu menggantungkan periuk belanganya, termasuk ayahku, terancam kolaps. (275;67)
Mozaik 7:
Oruzgan yang seusia dengan aku, Arai, dan Jimbron-baru 17 tahun-ternyata pemimpin pasukan elite Mujahiddin. (326;84)
Mozaik 8:
Aku belajar bahwa pria pendiam sesungguhnya memiliki rasa kasih sayang yang jauh berlebih dibanding pria sok ngatur yang merepe saja mulutnya. (330;87)
Mozaik 9:
Tanpa kusadari film inilah sesungguhnya cetak biru film Indonesia. para produser film tak tertarik untuk memproduksi film berbobot yang misalnya merekonstruksi sejarah. (412;108)
Mozaik 10:
Lapangan sekolah kami riuh rendah oleh suara ratusan yang manusia menyaksikan hiburan kocak paling spektakuler. Tak pernah SMA Bukan Main semeriah ini. (492;124)
Mozaik 11:
Diperlukan intelegensia yang tinggi untuk memahami bahwa buah nangka matang yang menggelembung sebesar tong, dengan tangkainya yang sudah rapuh, dapat sewaktu-waktu jatuh berdebam hanya karena dihinggapi kupu-kupu. Intelegensia Jimbron tak sampai ke sana. (495;128)
Mozaik 12:
Kini aku telah menjadi pribadi yang pesimistis. Malas belajar. Berangkat dan pulang sekolah lariku tak lagi deras. Hawa positif dalam tubuhku menguap dibawa hasutan-hasutan pragmatis. (559;144)
Mozaik 13:
Jika ada korban petir yang tak langsung tewas, dukun Melayu, dalam hal ini dukun langit,  segera menyalakan api di bawah tungku yang panjang. Di tungku itu dijejer daun-daun kelapa yang masih hijau lengkap dengan pelepahnya. Dan di atas daun kelapa itulah sang korban dipanggang, di-barbeque. Maksudnya untuk mengusir dedemit listrk dari dalam tubuhnya. Percaya atau tidak, cara ini sering sukses. (618;158)
Mozaik 14:
Ia merahasiakan semuanya karena mengerti perkara kuda sangat sensitif bagi Jimbron, di samping ia ingin memberikan kejutan pada sahabat tambunnya itu, sebuah kejutan yang manis tak terperi. Itulah Arai, dulu pernah kukatakan padamu, Kawan: Arai adalah seniman kehidupan sehari-hari. (709;184)

2.      Ego (Das Ich) : Aspek Psikologis
Mozaik 1:
Dan di sini, di sudut dermaga ini, dalam sebuah ruangan yang asing, aku terkurung, terperangkap, mati kutu. (1;1)
Aku gugup. Jantungku berayun-ayun seumpama punchbag yang dihantam beruntun seorang petinju. (2;2)
Mozaik 2:
Tampak jelas wajah cemasnya menjadi lega ketika melihat kami. (105;25)
Mozaik 3:
Aku gugup bukan main saat pertama kali keluar kamar dengan gaya rambut Toni Koeswoyo itu. (128;34)
Mozaik 4:
Kesusahan seakan tercetak di keningnya. Lahir untuk susah, demikian stempelnya. (148;38)                                                                       
Mozaik 5:
Ia kalut, tak sanggup menjelaskan situasinya pada orang-orang. Lagi pula sudah terlambat. Beberapa menit di Puskesmas ayahnya meninggal. Sejak itu Jimbron gagap. (259;61)
Mozaik 6:
Persoalannya, lebih sadis dari ancaman reptil cretaceous itu, yaitu berbulan-bulan tak digaji. (278;69)
Mozaik 7:
Kami juga tak sadar bahwa hari itu langit telah mengisap teriakan ikan duyung sang Capo seperti langit mengisap teriakan Arai yang melantunkan amin secara kurang ajar untuk membalas Taikong Hamim. (328;84)
Mozaik 8:
Semua orangtua murid dikumpulkan di aula dengan nomor kursi besar-besar, sesuai rangking anaknya. Nomor itu dicantumkan dalam undangan. Bukan Pak Mustar namanya kalau tidak keras seperti itu. Maka pembagian rapor adalah cara yang dapat membanggakan bagi sebagian orangtua sekaligus memalukan bagi sebagian lainnya. (344;91)
Mozaik 9:
Sebelum meninggalkan kami, di pintu bioskop Pak Mustar masih sempat melontarkan ancaman dengan dingin. Ancaman yang membuat kami tidak bisa tidur dua malam berikutnya, “Ingin tahu seperti apa neraka dunia? Lihat saja di sekolah hari senin pagi, Berandal!!” (436;114)
Mozaik 10:
Mengerikan. Sungguh aku tak sanggup melakukannya. Benar-benar memalukan. Aku demam panggung. Tapi bagaimanapun kami merasa ini lebih baik daripada dikeluarkan dari sekolah. (462;120)
Mozaik 11:
Bibirnya bergetar, wajahnya pucat dan sembap. Air mata menepi di pelupuknya. Napasnya cepat. Dia sangat terkejut, dia sangat tersinggung. (530;134)
Mozaik 12:
Tak sepicing pun aku tidur. Aku terpuruk dalam sekali. Tak pernah aku mengalami malam yang tak kunjung berakhir seperti ini. Dalam situasi moral  yang paling renda, kenangan lama yang pedih seakan hidup kembali, menyerbuku tanpa ampun. (594;150)
Mozaik 13:
Tubuh Jimbron mendadak sontak menjadi kayu. Mirip orang disambar petir. Tangan menggantung persis dirigen, atau seperti robot kehabisan baterai. Ia menoleh padaku tapi tubuhnya tak berbalik, hanya lehernya yang berputar dengan ukuran derajat yang tak masuk akal. Hampir seratus delapan puluh derajat! Ia seperti burung hantu. (623;159)

3.      Super ego (Das Ueber Ich) : Aspek Sosiologis
Mozaik 1:
“Bijaksana kalau kau sumbangkan jam dindingmu ke kantor  pemerintah, agar abdi negara di sana tak bertamasya ke warung kopi waktu jam dinas! Bagaimana pendapatmu?” (26;7)
Mozaik 2: -
Mozaik 3:
Dan seperti kebanyakan anak-anak Melayu miskin di kampung kami yang rata-rata beranjak remaja mulai bekerja mencari uang, Arai-lah yang mengajariku mencari akar banar untuk dijual kepada penjual ikan. (123;32)
Mozaik 4:
Lalu aku tertegun mendengar rencana Arai: dengan bahan-bahan itu dimintanya Mak Cik membuat kue dan kami yang akan menjualnya. (234;51)
Mozaik 5:
Kepemimpinan berdasarkan perintah alam itu berakhir sampai orang-orang Pasai membawa Islam ke suku-suku Melayu pedalaman. (254;58)
Mozaik 6:
“Jelajahi kemegahan Eropa sampai ke Afrika yang eksotis. Temukan berliannya budaya sampai ke Prancis. Langkahkan kakimu di atas altar suci almamater terhebat tiada tara: Sorbone. Ikuti jejak-jejak Sastre, Louis Pasteur, Montesquieu, Voltaire. Disanalah orang belajar science, sastra, dan seni hingga mengubah peradaban....” (288;73)
Mozaik 7:
Di televisi balai desa kami menyimak ulasan Ibu Toeti Adhitama tentang sepak terjang seorang patriot muda Mujahiddin yang baru saja menumbangkan komandan resimen utara Tentara Merah Rusia. (325;83)
Mozaik 8:
Metode Pak Mustar memang keras, tapi efektif. Anak-anak yang dimaki bapaknya itu biasanya belajar jungkir balik dalam rangka memperkecil nomor kursinya. Mereka sadar bahwa muka bapaknya dipertaruhkan langsung di depan majelis. (350;92)
Mozaik 9:
Kawan, tadi sudah kubilang: kelenjar testosteron adalah akar segala kejahatan. Dan simaklah betapa mengerikannya modus kriminal yang dimotivasi kelenjar itu. Karena dengan modus itu berarti kami harus sembunyi paling tidak 20 jam di dalam bioskop yang gelap. (393;102)
Mozaik 10:
Orang-orang baik itu telah terjebak dalam lingkaran maksiat industri film nasional dan mendapati kami, para siswa, termanipulasi di dalamnya, membuat mereka jijik dengan profesinya. (436;115)
Mozaik 11:
“Lihatlah, apa yang kita dapat dari pembicaraan tentang kuda? Pertengkaran yang buruk inilah yang kita dapat, Kawanku...,” Kuusahakan gaya bicaraku sebijaksana mungkin, seperti penyuluh KUA menasihati orang yang ingin talak tiga. (536;135)
Mozaik 12:
Beliau menghampiri kami dan tersenyum. Senyum itu adalah senyum kebanggan khas beliau yang tak sedikit pun luntur, persis seperti dulu ketika aku masih di garda depan. (599;152)
Mozaik 13: 
“Lihat kami. Orang Kek. Kami hidup dengan jiwa perantau. Aku sudah punya bioskop tapi setiap malam masih menghadapi lilin untuk membungkus kacang. Kalian orang Melayu mana mau begitu.” (618;157)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar