Tokoh:
1. Haji Imung
2. Gani
3. Beny
Gani, duduk sendiri di beranda rumahnya. Pikirannya melayang jauh. Ia teringat akan sebuah kerjadian yang telah menimpa ia dan temannya Beny saat bertamu ke rumah Haji Imung beberapa waktu lalu. Gani juga teringat sebuah kalimat saat sedang asyik ngobrol dengan temannya Beny
Inilah kejadian yang telah berlalu dan sedari tadi Gani bayangkan kembali...
Duduk di berada rumah bersama Beny. Keadaan sunyi. Pembicaraan keduanya memecah kesunyian malam itu.
Beny : “Ada orang pintar nggak? (bisiknya pada Gani)
Gani : “Ji Imung ...”
Beny : “Memang dia dukun ya?”
Gani : “Mungkin. Pokoknya, yang kudengar, dia ‘pinter’. Dia juga punya jin. Makannya kalau
jalan, tangannya ke belakang ... tuh, lagi gendong jinnya yang kecil ...,” (tuturnya sambil mengisap
mengisap).
... sunyi lagi. Beny terdiam lama, seolah pikirannya sedang mengunyah sesuatu. Dengan tiba-tiba dia menyambung kembali pembicaraan...
Beny : “Dia benar-benar bisa?”
Gani : “ Ya, saya sih, ... kata orang ... belum pernah langsung ...,” (mencoba mengendurkan perasaan Beny
Namun, tak disangka, jawabannya membuay Beny penasaran.
Beny : “Kalau gitu, lu bilang sama Pak Haji ... kita ke rumahnya habis Isya ...”
Malam itu, sehabis Isya, Beny dan Gani sudah duduk di beranda rumah Haji Imung. Di halaman kecil dekat beranda itu ada kolam ikan, lengkap dengan pancuran kecil yang selalu gemericik. Beberapa tanaman jenis paku bergerombol di tepi kolam sebelah kiri. Sesekali, seekor ikan melompat menangkap nyamuk yang terbang di permukaan air. Bunyi kecuplak yang cukup keras di keheningan malam itu, membuat Beny dan Gani beberapa kali tersentak.
Haji Imung masuk dengan mengenakan kaos, sarung, dan peci yang semuanya serba putih.
Haji Imung : “Alaikum salaam ....,” (menjawab salam dengan tiba-tiba membuat Beny dan Gani kaget)
Haji Imung menyalami tamu-tamunya.
Setelah Haji Imung duduk, Beny dan Gani masih terdiam mematung. Beberapa kali Haji Imung terkekeh, dan kedua tamunya itu juga tertawa kecil.
Haji Imung : “Ada apa sih, Gani ... Beny ... nyari saya?”
Gani : “Gini, Ji ... saya mau nganterin Beny ...”
Beny : “Sebetulnya, kami punya keperluan yang sama, Ji.” (Buru-buru menimpali jawaban Gani)
Haji Imung : (Tertawa kecil) “Iya ... ada apa?”
Gani : “Gimana ya, ngomongnya ...,” (sambil garuk-garuk kepala)
Haji Imung : “Laaah, ngomong aja ... apa saya ada kesalahan, atau ada janji saya yang kelupaan, atau ...”
Beny : “Buka gitu, Ji ... Gini. Saya sama Gani mau minta tolong ...,” (ujarnya dengan hati-hati)
Gani : “Iya, Ji ... mau lebaran, nih...,” (lebih hati-hati dari Beny)
Haji Imung : “Oooo ... gitu aja pakai malu-malu segala .... berapa?”
Gani : “Bbbb... bukan gitu, Ji ...,”
Haji Imung : “Hah? Lantas?”
Gani mengatur sikap duduknya. Air berkecuplak. Gani tersentak. Haji Imung tersenyum.
Gani : “Gini, Ji ... saya dengar dari orang-orang, kalau Haji Imung adalah orang yang berilmu ...”
Haji Imung : “Hahahah ... ilmu apa? Kalau ilmu agama, ya, ada ... tapi masih cetek ... bisa aja, lu ....
(Terkekeh. Lalu mengeluarkan rokok)
Gani : “Ah, Haji merendah ....”
Beny : “Iya, Ji ... saya sama Gani mau minta tolong ....”
Haji Imung : “Hmm ... iya, masalah kalian apa?”
Beny : “Gini, Ji ... (Berhenti sesaat. Gani menunduk) saya mau ... minta nomer ...,” (ujarnya lirih)
Haji Imung terdiam. Dia menarik rokoknya nikmat, lalu mengepulkan perlahan. Asap melenggok di beranda, tak tersentuh. Keciplak kolam terdengar. Gemericik air menjelas, mengisi sunyi.
Haji Imung : “Nomer? Nomer apa-an? (bertanya dengan serius)
Beny : “Nomer buntut, Ji.”
Haji Imung : “Buntut? Buntut kebo?”
Beny : “Mmm ... maaf Ji, ... togel ...”
Haji Imung : “Bisa ceritain dulu gak, seperti apa sih, permainan itu?” (Penasaran)
Beny dan Gani kemudian menggambarkan bagaimana permainan itu dilakukan. Setiap hari tertentu, mereka akan membeli kupon, memasang angka dan mendengarkan berita. Bila nomor-nomor itu keluar mereka akan mendapatkan uang, beberapa kali lipat dari taruhan yang mereka pasang.
Haji Imung : “Asyik juga, ya ...?” (seolah larut dalam cerita Gani dann Beny)
Gani : “Iya, Ji ... temen saya pernah pasang ... dapat empat angka ... wah, dia bisa beli motor baru..
Ngojek ... aman dah ...,”
Beny kemudian menimpali dengan cerita yang lebih seru lagi.
Haji Imung : “Lu, Gani ... pernah menang?”
Gani : “Pernah, Ji ... sekali ....”
Haji Imung : “Dapat berapa?”
Gani : “Yah, lima belas ribu ... lumayan, Ji ... bisa nambah uang dapur.”
Haji Imung : “Hmm... terus?”
Gani : “Yaa ... gitu deh.”
Haji Imung : “Gitu, deh, bagaimana?”
Gani : “Cuma sekali itu doang, Ji ... hehehehehe”
Haj Imung : (terkekeh) “Terus, hubungannya sama saya, apa?”
Beny dan Gani kembali terdiam. Haji Imung memandang keduanya seorang demi seorang bergantian.
Gani : “Kata orang, Haji Imung bisa nebak nomer yang bakal keluar ....”
Haji Imung : “Hah? Sakti bener .... siapa orang yang bilang begitu? Kalau saya bisa nebak, ngapain cuma
buntutnya, nah semuanya aja saya tebak ... kaya raya, saya ... Iya, gak?”
Beny dan Gani menunduk, tahu bahwa harapannya kandas.
Haji Imung : “Gini ... (seolah merasakan kekecewaan terhadap Gani dan Beny), Lu berdua butuh duit
berapa? Kalau sekadar buat bikin ketupat aja, Insya Allah saya ada.”
Beny : “Ji, maaf nih sebelumnya ... saya sendiri nggak mau ngutang atau minta-minta ... saya mau
sekali ini saja usaha saya lancar, habis itu .... Tapi... yang sekali ini, saya minta dapatnya
gede.” (Berusaha memohon)
haji Imung terdiam. Lalu berdiri, masuk rumah. Gani dan Beny terdiam, saling berpandangan.
Beny : (sambil berbisik) “Kata lu, dia bisa ...,”
Gani : “Gua kan udah bilang, itu kata orang ...,” (Tak kalah ngotot)
Pembicaraan terputus karena Haji Imung tiba-tiba sudah ada di beranda lagi. Di tangannya ada sebungkus makanan ikan. Tanpa ba-bi-bu, dijumputnya makanan ikan itu dan ditaburkannya ke kolam. Ikan-ikan berlompatan, berebutan makanan.
Haji Imung : (Tanpa memandang keduanya) “Gini ... kalau masih penasaran, gua mau nolong kalian. Tapi ada syaratnya ....,” (tetap asyik menatap ikan-ikan yang berebutan makanan).
Beny : “Apa, Ji?”
Haji Imung : “Lu bakalan dapat duit seratus juta rupiah, dari gue ... malam ini juga ...,” (kemudian me-
mandang keduanya) “tapi ... syaratnya berat...”
Beny dan Gani tak peduli dengan kalimat Haji Imung, yang ada di benak mereka adalah setumpuk uang berjumlah seratus juta rupiah. Bayangan kemewahan silih berganti di benak mereka. Beny sudah membayangkan duduk di kursi pengantin untuk yang ketiga kalinya; dia akan melamar anak Pak Lurah Kampung Gunung. Gani sudah membayang punya angkot kreditan, dan akan jadi sopir angkot.
Haji Imung : “Syaratnya satu. Selama tiga hari dan tiga malam, mata lu kagak bisa kedip.”
Gani dan Beny saling berpandangan. Merasa heran dengan syarat tersebut.
Gani : “Mmm ... mmak ... maksudnya, Ji?
Haji Imung : “Ya, nggak bisa kedip-kedip, kayak biasanya. Melotot aja kayak mata ikan... hehehe....
mau? Cuma tiga hari tiga malam, sudah itu normal lagi ... enteng kan? Hehehe ....
bagaimana, mau? Cuma kedip .... yaah ... hahahaa ... keciiiil ....” (tertawa kecil)
Gani : “Sss... seratus juta, Ji?”
Haji Imung : “Masya Allah ... masa gua bohong, sih? Kalau gua penipu, nah buat apa kalian jauh-
jauh kemari?”
Beny : “Maaf, Ji ... seratus juta kan, banyak ....” (dengan hati-hati, takut Haji Imung marah)
Haji Imung : “Perhatiin baik-baik ... apa yang gue pegang ini ...” (memperlihatkan bungkusan yang se-
jak tadi dipegangnya)
Gani : “Makanan ikan, Ji ...”
Haji Imung : “Yakin?”
Gani dan Beny mengedip-ngedipkan kedua matanya. Di mata mereka, tampak bahwa bungkusan itu bukan bungkus makanan ikan, namun bungkusan tumpukan uang seratus ribuan. Bergepok-gepok uang ada di tangan Haji Imung.
Haji Imung : “Nah, gua kagak bohong, kan? Nah, sekarang bagaimana? Mau saya kasih duit ini, seka-
rang? Tapi syaratnya, tiga hari tiga malam nggak bisa kedip?”
keduanya terdiam.
Haji Imung : “Mau nyobain, lima menit aja gak kedip, gimana rasanya? Gani, mau?”
Gani terdiam, ragu. Beny pun tegang. Namun, bius uang seratus juta rupiah membuat Gani menyanggupinya, toh, hanya lima menit.
Haji Imung : “Sanggup?”
Gani mengangguk. Lalu, mata Gani memandangi uang setumpuk itu. Baru beberapa detik melotot matanya sudah mulai perih. Detik berikutnya jarum-jarum terasa menusuki seluruh bola matanya. Beberapa detik kemudian Gani mulai merintih, tak lama meraung, matanya serasa terbakar. Detik berikutnya Gani melolong sambil kedua tangannya mencoba menarik-narik kelopak matanya sendiri agar mau mengatup sebentar saja.
Haji Imung : “Gimana? Lanjut?” (terkekeh)
Gani : “Am ... ampuuun, Ji ... ampun ... udah ... ampun, Ji ...” (Gani pun menangis)
Haji Imung : “Belum semenit aja, lu sudah nggak sanggup, gimana kalau tiga hari tiga malam? Dan coba
lihat ... apa yang gua pegang ini duit?”
Gani tak berani memandang Haji Imung. Gani masih menangis. Malam mengalir. Kecuplak air kolam masih sesekali terdengar. Gani dan Beny menyesal. Malam pun berlalu.
S E L E S A I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar