Selasa, 22 November 2011

Naskah Drama - Petang di Taman


Di sebuah taman, dengan beberapa buah bangku, orang tua masuk, batuk-batuk, duduk di bangku. Masuk laki-laki separuh baya, duduk di bangku.
Waty
Lia
Waty
Lia
Lia
Waty

Lia
Waty
Lia
Waty
Lia
Waty
Lia

Waty


Lia
Waty
Lia
Waty
Lia
Waty
Lia
Waty
Lia
Waty







Lia
Nona
Lia
Waty
Lia
Waty



Nona
Waty
Nona
Lia
Waty
Lia




Waty
Nona
Lia
:
:
:
:
:
:

:
:
:
:
:
:
:
:
:


:
:
:
:
:
:
:
:
:
:







:
:
:
:
:
:



:
:
:
:
:
:




:
:
:
“Mau hujan.”
“Apa?”
“Hari mau hujan. Langir mendung.”
“Bukan. Musim kemarau.”
“Di musim kemarau hujan tak turun.”
“Kata siapa?”
(Bunyi guruh)
“Ini bulan apa?”
“Entah.”
“Kalau begitu saya benar. Ini musim hujan.”
“Bulan apa kini rupanya?”
“Entah.”
“Kalau begitu saya benar. Ini musim kemarau.”
“Tidak, tidak! Yang lebih muda mesti tahu menghormati yang lebih tua. Ini musim kemarau.”
“Tidak, tidak! Yang lebih tua mesti tahu menghormati yang lebih muda. Ini musim hujan.”
(Terdengar bunyi guruh)
“Kita sama-sama salah.”
“Maksudmu, bukan musim hujan, dan bukan pula musim kemarau?”
“Habis, mau apa lagi.”
“Beginilah, kalau kita terlalu memuja hormat.”
“Maumu bagaimana?”
“Lantas?”
“Akan lebih jelas, musim apa sebenarnya kini.”
“Dan kalau sudah bertambah jelas?”
(diam)
(merenung) “Dan kalau segala-galanya sudah bertambah jelas, maka kita pun saling bengkak-bengkak, karena barusan saja telah cakar-cakaran, dan siapa tahu salah seorang dari kita cidera dalam cakar-cakaran itu, atau keduanya dari kita. Dan ini semua hanya oleh karena kita telah mencoba mengambil sikap yang agak keras terhadap sesama kita (tiba-tiba marah). Bah, masa bodoh dengan musim! Dengan segala musim.”
(Bunyi guruh. Tak berapa lama kemudian, masuk PB. Balon-balonnya beraneka warna)
(kepada PB) “Silakan duduk.”
(bimbang, masih saja berdiri
“Ayo, silakan duduk!” (menepi di bangku)
“Tentu saja dia menjadi ragu-ragu karena Ibu buat.”
“Kenapa?”
“Pakai silakan segala! Ini ‘kan taman?” (tiba-tiba marah)
“Dia duduk, kalau dia mau duduk. Dan dia tidak duduk, kalau dia memang tak mau duduk. Habis perkara! Bah!”
(melihat dengan geramnya kepada PB)
(duduk)
(masih marah) “Mengapa kau duduk?”
“Eh . . . saya mau duduk.”
(tiba-tiba tertawa terpingkal-pingkal)
(sangat marah) “Mengapa Ibu tertawa?”
(dalam tawa) “Karena . . . saya mau tertawa . . . .” (terbahak-bahak)
(Bunyi guruh. Berhembus angin. Balon-balon kema hembus. Semua mau terlepas. Cepat PB dan LSB bergumul. Balon-balon lainnya kini lepas semua dari tangan PB, terbang ke udara. Sebuah balon itu dapat tertangkap oleh OT, yang kemudian bermain-main gembira, kekanak-kanakan, dengannya.)
(lepas dari pergulatan dengan PB ia berdiri, nafasnya satu-satu)
(duduk di tanah, menangis)
(masih dengan gembira ia bermain dengan botol tadi)


Waty
Nona
Waty
Lia
Nona
Lia & Waty
Waty
Nona
Lia
Waty

Nona

Lia & Waty
Nona
Waty
Nona
Waty
Nona

Waty
Lia


Waty
Lia
Nona
Lia
Nona

Lia

Nona
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

:

:
:
:
:
:
:

:
:


:
:
:
:
:

:

:

(kepada PB) “Mengapa kau menangis?”
(tak menyahut, terus duduk di tanah, menangis)
(timbul marahnya) “Hei! Mengapa kau menangis?”
(sambil bermain-main terus dengan balon) “Karena dia memang mau menangis.”
(tiba-tiba) “Bukan! Bukan karena itu!”
(tercengang)
“Kalau begitu, kamu menangis karena apa?”
“Karena balon-balon saya terbang.”
(mengerti) “Ooo! Dia pedagang yang merasa dirugikan.”
“Ooo, itu!” (merogoh dompetnya dari saku belakangnya. Dia mengeluarkan uang dua puluh ribuan.) “Nah, in sekadar pengganti kerugianmu.”
(berdiri) “Tidak!” (duduk di bangku) “Lari dan tinggalkan aku sendiri.” (tangisnya menjadi) “Saya tidak mau dibayar.”
(serempak) “Tidak mau?”
(menggelengkan kepalanya)
“Mengapa?”
“Saya lebih suka balon.”
(tak mengerti) “Tapi, kau ‘kan penjualnya?”
“Itu hanya alasan saya saja untuk dapat memegang-megang balom. Saya pecinta balon.”
“Apa-apaan ini?”
“Mengapa merasa aneh? Dia pecinta balon, titik. Seperti juga orang lain pecinta harmonika, pecinta mobil balap, pecinta perempuan-perempuan cantik. Apa yang aneh dari ini semuanya?”
(masih belum habis herannya) “Jadi, kau sebenarnya bukan penjual balon?”
(kepada PB) “Ini, terimalah balonmu kembali!”
“Tidak, Ibu pegang sajalah terus.”
(heran) “Saya pegang terus?”
“Karena saya lihat, bahwa Ibu juga menyukainya. Saya suka melihat orang yang suka.”
(tertawa kecil) “Ah, ini bukan lagi kesukaan namanya, tapi kenangan. Kenangan kepada dulu. Tidak Nak, sebaiknya kau sudi menerima kembali balonmu ini.”
“Saya tak sudi dan tak berhak menerima kenangan orang.” (menolak balon)
. . .

2 komentar:

  1. sound effect dan musik apa yg digunakan dlm pementasan...
    tolong minta list musiknya yaa...

    BalasHapus
  2. bs minta naskah aslinya?

    BalasHapus